Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)

Meskipun tidak dapat menjadi referensi sejarah secara utuh dan murni, kelima seri buku Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi dapat dikatakan bacaan wajib pecinta sejarah khususnya sejarah Majapahit. Majapahit sebagai sebuah kerajaan besar yang membentuk sejarah bumi Nusantara tentu menyimpan kisah-kisah intrik berdarah yang berliku. Tak banyak novel yang mengambil latar sejarah Majapahit sebagai tema. Malah, masih cukup jarang penulis Indonesia yang mengambil nafas sejarah melalui karya-karyanya. Selain perlunya kedalaman riset yang sangat serius, jika penulis tidak cukup kreatif dalam menyusun plot, novel berlatar belakang sejarah sangat sedikit menarik minat pembaca. Nampaknya Langit Kresna Hariadi melihatnya sebagai tantangan sekaligus peluang. Sebelum seri Gajah Mada ini pun, Langit telah menerbitkan beberapa seri novel berlatar belakang sejarah (salah satunya mengambil tlatah pra-kerajaan Singosari) dan cukup sukses.

Seri kelima buku Gajah Mada yang berjudul Gajah Mada: Hamukti Moksa menguliti cukup gamblang intrik-intrik yang menyelubungi peristiwa-peristiwa menjelang lengsernya Gajah Mada hingga berujung pada peristiwa Hamukti Moksa dari salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Nusantara. Berbagai gejolak peristiwa disajikan secara runtut dan runut. Didukung beberapa tokoh-tokoh (yang saya yakini adalah tokoh fiktif) yang telah ada pada seri-seri sebelumnya seperti Gagak Bongol, Macan Liwung, Gajah Enggon, dan beberapa tokoh lain. Gajah Mada: Hamukti Moksa tidak serta merta mengesampingkan pembaca baru. Setting plot dilakukan dengan baik sehingga pembaca yang belum membaca seri buku sebelumnya tetap dapat menikmati alur cerita sekaligus menapaki jejak-jejak sejarah di didalamnya. Kemudian, meskipun tidak sebanyak pada seri-seri sebelumnya, sedikit plot twist yang menjadi ciri Langit juga diselipkan menjelang akhir cerita. Khas.

Sedikit mengupas tentang isi buku kelima dalam seri Gajah Mada ini, Langit mengambil latar waktu pasca terjadinya Perang Bubat dan sebelum peristiwa Gajah Mada moksa. Bangsa Indonesia tentu tak asing dengan Gajah Mada dengan Hamukti Palapa-nya. Sebuah sumpah yang sakral sekaligus sangat ambisius dengan satu tujuan mutlak. Menyatukan Nusantara dalam satu panji. Panji Wilwatikta. Sangat dahsyatnya tekad Gajah Mada tersebut hingga dalam kurun waktu sekitar 21 tahun ambisi besar itu berhasil diwujudkan mulai dari Tumasek (Singapura) di ujung Barat dan Wanin/Onin (Pulau Papua) di ujung Timur. Lantas, apa yang pantas menutup sumpah tersebut setelah Nusantara berada dalam satu kedaulatan Wilwatikta? Hamukti Moksa

Gajah Mada: Hamukti Moksa diawali dengan beberapa perisitiwa penting. Salah satu peristiwanya adalah Perang Bubat yang kemudian secara beruntun kemudian mengakibatkan lengsernya Gajah Mada. Gajah Mada dianggap sebagai pihak paling bersalah dalam pembantaian di Bubat. Sebuah tragedi yang meruntuhkan sendi-sendi hubungan Sunda dengan Jawa dan menggantinya menjadi prasangka tak berkesudahan berabad-abad setelahnya. Retaknya hubungan Prabu Hayam Wuruk dengan Gajah Mada juga diceritakan menggoyang stabilitas kerajaan. Meskipun kemudian Gajah Mada kembali memegang tampuk Mahapatih setelah beberapa tahun mengasingkan diri pasca lengser, keutuhan Majapahit tidak lagi sekokoh sebelumnya. Dalam Gajah Mada: Hamukti Moksa memang tidak diceritakan secara gamblang bagaimana berbagai gejolak dari dalam maupun luar Majapahit (setelah Gajah Mada menjabat kembali) begitu menggerogoti kekuatan kerajaan. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa konflik-konflik yang ada tersebut membuat Mahapatih kewalahan dan menjadi awal kemunduran Majapahit yang tak terhindarkan. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, Gajah Mada: Hamukti Moksa dan seri buku Gajah Mada sebelumnya memang cukup pantas mengobati dahaga penggemar novel-novel berlatar sejarah di tengah hiruk-pikuknya penulis pop yang dewasa ini menjamur di Indonesia.

Sebagai penutup ulasan ini, ijinkan saya sedikit bercerita tentang pandangan pribadi saya mengenai moksa yang menjadi tema dalam seri buku kelima Gajah Mada ini. Moksa atau muksa dalam beberapa keyakinan adalah mencapai kebebasan jiwa dan raga dan lepas dari konsep keduniawian, seringkali ditandai dengan meninggalnya seseorang sekaligus lenyapnya fisik orang tersebut tanpa bekas. Menyadur dari terjemahan Langit Kresna Hariadi, Hamukti Moksa adalah keinginan/semangat untuk hilang, lenyap secara lahir batin setelah melaksanakan tugas luar biasa demi kepentingan orang banyak tanpa mengharap balasan. Banyak yang menganggap moksa-nya Mahapatih karena ingin mengakhiri kecamuk pengaruh peristiwa Perang Bubat yang tidak berkesudahan, pun hingga menjelang peristiwa Gajah Mada moksa. Banyak juga yang menganggap Gajah Mada moksa sesaat sebelum ditikam oleh Niskala Wastu Kencana, adik kandung Dyah Pitaloka Citrarashmi. Tentu anggapan-anggapan ini perlu didukung dengan referensi-referensi yang memadai. Secara pribadi, saya menganggap moksa-nya Gajah Mada adalah bentuk puncak lelaku kebajikan apapun yang telah dilakukannya (terlepas dari beberapa luput tindakannya yang fatal dalam peristiwa Bubat). Moksa bukanlah suatu peristiwa biasa nan sepele. Moksa adalah kedamaian, berdamainya jiwa dan raga secara utuh. Beberapa sejarah mencatat peristiwa moksa terjadi atau dilakukan oleh orang-orang yang sangat linuwih. Salah satunya adalah Raja Jayabaya yang terkenal dengan ramalan Jangka Jayabaya milik beliau (sebuah ramalan tentang masa depan Nusantara sampai beberapa abad ke depan yang sampai saat ini dianggap cukup jitu). Coba bayangkan, setelah sekian lama sambung dan ngolah cipto roso karso serta menyatu dalam kedamaian, ternyata jiwamu mengajak ragamu bersama-sama ke alam kelanggengan. Apa yang bisa dilakukan ragamu selain turut serta. Moksa, muksa, murca menjadi udara.


Gunawan Wiyogo Siswantoro
Jakarta Timur, 22 Januari 2018.

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu