Dari Pena Mahasiswa Hingga Roda Perubahan (Opini)

Soe Hok Gie. Gie. Beliau belum pernah meng-klik tombol 'like' ataupun meng-update status di jejaring sosial macam facebook dan sejenisnya. Pasti, karena tahun-tahun dimana Soe Hok Gie bersuara lantang, bangsa ini belum mengenal apa itu internet, email, blog, situs. Ah, terlalu muluk. Bisa hidup tenang tanpa diusik oleh tarikan golongan kiri atau kanan sudah menjadi hak eksklusif waktu itu. Sekarang ada baiknya kita mengenal Soe Hok Gie dulu. Sebentar, tema tulisan ini tidak jauh-jauh dari 'mahasiswa', 'media massa' tapi mengapa Soe Hok Gie yang diulas? 

Soe Hok Gie terlahir di Jakarta pada 17 Desember 1942 (yang kemudian meninggal dunia di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 pada sebuah ekspedisi di gunung tersebut). Beliau adalah salah seorang aktivis Indonesia yang cukup legendaris. Terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962-1969, Soe Hok Gie kala itu sangat lantang, teguh dan sangat vokal terhadap kebijakan-kebijakan politik Soekarno kala itu (hal yang sangat saya suka dari Soe Hok Gie). Gie dikenal cukup produktif dalam hal beropini dan menulis di media massa khususnya koran. Sebut saja Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Terhitung kurang lebih 35 artikel dari 100an lebih karyanya sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Hal yang dikritisi pun sangat beragam mulai dari kebijakan politik (yang pada waktu itu sangat sensitif dibicarakan hingga persoalan kesejahteraan, sosial, dan kebebasan bersuara.

Sudah paham mengapa Soe Hok Gie HARUS diulas disini? Tepat. Pada beliau, setidaknya kita sebagai sesama mahasiswa bisa berkaca dan sedikit menyusuri. Mahasiswa itu sudah semacam menjadi fitrah-nya untuk berkarakter vokal, netral, ideologis, kritis, dan cerdas namun tetap dalam koridor respektif dalam ikut andil merancang nasib bangsanya. Sangat tidak ‘mahasiswa’ jika mereka justru bertindak anarkis dengan topeng perubahan. Mahasiswa bisa dan sangat mampu untuk berjuang menuntut perubahan positif melalui tulisannya. Soe Hok Gie salah satu contohnya, aktivis yang elegan, mendobrak kungkungan dengan tulisan.

Sebenarnya bukan fenomena baru ketika mahasiswa berjuang demi nasib bangsa melalui tulisan. Melalui tulisan suatu ide, gagasan, opini kritik bisa dengan leluasa tertuang dan dapat dengan mudah ditularkan. Banyak tokoh bangsa yang membuktikan hebatnya pengaruh tulisan yang berkarakter di masyarakat luas (tentunya tulisan tersebut harus pernah dipublikasikan, entah di media massa koran atau lainnya). Sebutlah Pak Soekarno. Presiden pertama RI yang sangat terkenal dengan kelihaiannya merebut simpati dan perhatian publik melalui orasinya yang menyala ini pun mengakui betapa pers dan dunia tulis-menulis mempunyai efek yang luar biasa dalam perubahan. Bahkan pernah dalam suatu pidatonya di depan 600 wartawan asing di National Press Club, USA, Pak Soekarno berkata dalam bahasa inggris, “Adalah suatu pengalaman yang mengagumkan untuk sekaligus berjumpa dengan begitu banyak anggota pers, pria dan wanita. Tidak saja mengagumkan, tetapi dalam beberapa hal juga agak menakutkan, karena sesungguhnya pers dunia merupakan alat yang berkuasa untuk kebaikan dan keburukan”. Nyatanya pers memang ikut berperan dalam keruntuhan rezim Soekarno. Luar biasa. Berlebihan? Tidak.

Mahasiswa dan perubahan. Suatu kombinasi unik. Tak salah jika mahasiswa disebut sebagai agent of change. Perubahan sangat sering diteriakkan oleh ‘oknum’ satu ini. Orasi, demo, mogok makan, hingga beberapa aksi anarkis kerap dilakukan dalam perwujudan tuntutan mahasiswa akan suatu perubahan. Namun sepertinya ada satu aksi yang belum membudaya di kalangan mahasiswa dalam perjuangan mereka menuntut perubahan. Menulis dan beropini.

Era teknologi informasi dan komunikasi berkembang begitu pesat dalam abad ini. Konsumsi internet bukan barang baru bagi orang awam sekalipun, apalagi mahasiswa. Kemudahan seperti harusnya menjadi semacam ukuran bagi mahasiswa untuk lebih menyuarakan gagasan-gagasan cemerlangnya melalui tulisan. Tengok Soe Hok Gie. Di jamannya kemudahan seperti apa yang ditawarkan. Jauh api dari panggang. Namun tulisan-tulisannya sungguh menggebrak, bagaimana luar biasa idenya tentang perubahan mengalir deras di setiap tulisan yang didarasnya di buku diari. Di era saat ini, kita bangun tidur, baru ‘melek’ saja sudah bisa memberitahukan keadaan kamar kita ke berbagai belahan bumi dalam hitungan detik. Luar biasa sia-sia kemudahan itu ada jika penggunaannya hanya sejauh itu. Mengirim tulisan ke meja redaksi koran atau majalah semudah menguap saja. Buka email, lampiri tulisan kita, kirim, beres.

Sekarang kita beralih ke masalah sumber ide, gagasan, hal-hal yang bisa kita jadikan inspirasi menulis dan beropini. Mengapa tulisan kita sebagai mahasiswa seringkali terasa kering dan datar. Cobalah lebih banyak membaca, apapun itu, baca saja. Lambat laun wawasan kita akan terbuka. Ingin cara yang lebih ekstrim. Nongkrong di warung kopi sekitar kampus. Terdengar aneh dan sama sekali tidak relevan, namun coba lebih mendengar. Dengarkan apa yang dibicarakan para penghuni warung kopi sekitar kampus yang rata-rata mahasiswa itu. Pasti kalian akan mendapati bahwa warung kopi kampus di malam hari berubah menjadi tempat yang sangat intelektual lengkap dengan pelaku intelektualnya. Beragam diskusi disana, mulai dari sekedar tren sepatu masa kini hingga obrolan berat setingkat ideologi yang harus diusung bangsa ini. Sayangnya dari sekian beragamnya diskusi tersebut jarang sekali yang dituangkan dalam sebuah tulisan yang pada nantinya akan dikirim ke redaksi koran atau paling apes di-posting di akun jejaring sosialnya. Jujur ini merupakan pengalaman pribadi penulis selama nongkrong di warung kopi sekitar kampusnya sambil mendengarkan berbagai macam ide atau gagasan yang ‘gila’, brilian, nekat, cerdas, dan logis yang kerap melintas di telinganya. Mahasiswa era sekarang tidak kalah subur idenya dengan Soe Hok Gie ataupun para tokoh pemikir lainnya. Mereka hanya kurang mau menulis dan beropini lewat tulisan. Menulislah dan taruh (kirim) ke meja redaksi koran-koran agar tulisan kita dibaca dan bisa membawa perubahan. Menulislah kawan dan sebarkan idemu itu seantero bumi, agar dunia tahu betapa tulisan kita, mahasiswa, sungguh akan membawa perubahan. Salam hangat.

Gunawan Wiyogo Siswantoro,
'Mahasiswa Semester 6, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN)
Spesialisasi Kebendaharaan Negara'.

Referensi :


  1. Pitono, Joko. 2009. Soekarno, Obor yang Tak Pernah Padam. Surabaya : Selasar Surabaya Publishing.
    1. Enar, A.L.. Pers Kampus, Akankah Menyerah Pada Keadaan?.http://hminews.com/kampus/pers-kampus-akankah-engkau-menyerah-pada-keadaan/ diakses 14 April 2011.
    2. Biografi Soe Hok Gie (1942-1969). http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-soe-hok-gie-1942-1969.html. diakses 14 April 2011.

    Comments

    1. setuju, biar mahasiswa ga hx berkicau di twtter, omdo ujg2x

      ReplyDelete
    2. Menulis doang tnp da pergrkn. Gak bkl majuu ini negara dolor! haha

      ReplyDelete
    3. heuheu, pertama kalinya ada yg ngomen :D

      @sumirjo : heuheu, boleh lah maen2 di twit, buat pemanasan mas broo

      @anonymous : yah, kalo pergerakannya dgn cr intelek dan ga anarkis saya sih dukung2 aja.. heuheu. Lanjutkan pergerakanmu sodara, ttp sbg 'mahasiswa' yah :)

      ReplyDelete
    4. wah, ini emang brniat nulis artikel krtis atw gr ikut kompetisi blog?hehe, salam ms bro

      ReplyDelete
    5. kurang 'menggigit'. Coba diulas lebih dlm prn mhs di prbhn it sendiri. Slmt brkrya

      ReplyDelete
    6. wuekekek, ga nyangka rameee..:) (publikasi berhasil, hihi)

      @avela : dua2nya vela, pgn nulis ttg ini juga krn ikut lomba blog. Doain menang yee, hoho.

      @mbah sapu : wah, makasih banget mbah sapu jagat (boleh dipanggil 'mbah'?heuheu)buat masukannya. Insya Allah,slnjtnya ane perbaiki.

      ReplyDelete
    7. Gie T.T
      entah kenapa perasaanku selalu teraduk-aduk, aneh...

      ReplyDelete
    8. @mbok iyem : loh ada mbok 'iim' iyem. Teraduk-aduk ngopo toh mbok, teruskan semangat GIE-mu yoo..heuheu

      ReplyDelete
    9. ayas ga suka twiter gan, ayas skx ngelowo.. He3x

      ReplyDelete
    10. sukaaa, ijin copas dikit yach?:) mkaciih

      ReplyDelete
    11. @sumirjo si'lowo' : heuheu, iya gan, santae wae. Mslh selera ga bisa dipaksa. Umak kera ngalam?wah tonggo karo ayas, ayas kera oterkojem..heuheu

      @cicit : dgn sng hati, silahkan :)

      ReplyDelete
    12. tp mhsswa skr ada yg ideologix bs dbeli gan,, mnrt agan pegimane ntuh?

      ReplyDelete
    13. mahasaswa yg bs dbeli dlm artian gimana dulu ni gan?masih samar ane. maaf heuheu

      ReplyDelete

    Post a Comment

    Popular posts from this blog

    Nusantara: Romantisme Masa Lalu

    Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

    Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)