Jalan Seorang 'Wayang' : Part 2 (Potongan Novel)

Aku merasa dikejar sesuatu. Tak jelas wujudnya. Namun aku bisa merasakan pekatnya kepahitan dan rasa nelangsa yang sangat kuat menyedot. Semakin deras lariku, semakin pekat dan kelam. Sekejap, byarr!! Aku tersentak dari tidur, mimpi ternyata. Ku lirik setengah mata jam beker yang berdering-dering riang. Pukul 05.00. Dari kejauhan samar, sangat samar lolongan panjang entah anjing atau serigala terdengar. Tak urung meremang juga bulu kuduk ini, yang aku yakin tak ada hubungannya dengan rasa dingin suhu minus 5 derajat  saat ini. Setengah melompat, aku menuju kamar mandi. Mencuci muka mungkin bisa sedikit membantu menurunkan intensitas detak jantungku yang masih berlari usai mengalami mimpi aneh barusan. 

Aneh memang, sudah 3 hari aku mengalami mimpi dengan ‘tema’ yang hampir sama. Kesedihan, kepahitan, atau apapun itu yang jelas sangat kuat mengisap rasa bahagia yang ada di sekitarnya. Ah, aku tak mau hariku rusak hanya karena mimpi yang tidak jelas. Pagi ini ada agenda penting di kantor dan setidaknya agenda ini cukup menentukan nasibku di negeri Panser ini.Bersiul-siul kecil, aku masukkan selapis roti gandum tebal ke dalam toaster sambil ku sambar handuk. Hmh, 05.15 dan suhu masih tak mau beranjak dari angka 5 di bawah nol. Beruntung pemanas air di kamar mandi tidak macet, aku bisa jadi bongkahan es batu jika pagi buta sudah mandi di tengah musim salju seperti sekarang. Yang jelas aku tidak boleh terlambat ke kantor pagi ini. Saat keluar kamar mandi, aku mendengar suara televisi. Kapan aku menyalakan televisi? Sedikit berjingkat dengan sehelai handuk melilit di pinggang, ku angkat tongkat baseball. Setengah berdebar aku menuju ruang tengah dimana suara televisi itu berasal. Sejurus aku sudah siap memukul sesosok siluet di ruang itu saat tiba-tiba sosok asli dari siluet itu berbalik dan menampakkan senyum manisnya. Emily. Beruntung tongkat baseball ini tidak mampir di wajahnya. Sekelebat rasanya aku cukup lelah berdebar-debar terus sepagi ini.

Bonjour laf. Ucapnya renyah.

oh mein Gott, ich Emily haben keine Ahnung, ob du es bist. Ya Tuhan, Emily. Aku sama sekali tidak berpikir kalau itu kamuMasih berdebar-debar jantungku rasanya.

Hufft Emily, tidak bisakah kau memberitahuku terlebih dahulu sebelum datang ke sini? Aku hampir saja meng’hadiah’kan sebuah pukulan home run ke wajahmu jika kamu terlambat sedetik untuk menoleh”.Aku terus memberondongnya karena cukup jengkel dengan kebiasaannya yang masuk ke apartemenku tanpa suara.

Bukannya menjawab cerocosanku, Emily malah mulai menggoda dengan menggelitik pinggangku yang masih terlilit handuk. Mau tak mau dengan lembut aku singkirkan tangannya. Aku tak mau terlambat ke kantor dan dia pun tampaknya sudah rapi untuk berangkat.

Hari ini ada rapat penting terkait proyek besar yang didapatkan perusahaan tempat dimana aku bekerja. Proyek ini cukup kontroversial, prestisius, dan membutuhkan disiplin ilmu yang sangat kompleks dan aku yakin melibatkan ahli-ahli di bidang yang sangat jarang di muka bumi ini dan sekali lagi, aku direncanakan masuk dalam tim pengembangan proyek tersebut. Baik, aku berikan sedikit gambaran tentang proyek ini. Pernah mendengar istilah technomicrobiology ? Aku yakin belum karena hanya terdapat 7 gelintir manusia di jagat raya ini yang memiliki predikat ahli technomicrobiology. Sungguh disiplin ilmu yang satu ini masih sangat ‘bayi’ dan potensial. Lusa kemarin, Big Boss bilang aku diposisikan menjadi asisten dari seorang technomicrobiologist yang terlibat di dalam proyek ini. Ya, itulah mengapa hari ini akan menjadi salah satu hari yang cukup menentukan nasibku bahkan mungkin akan menjadi hari bersejarah di sepanjang karirku.

Pukul 05.50, aku dan Emily berjalan beriringan menyusuri Sungai Emscher demi mencari jalan pintas tercepat menuju stasiun utama di Oberhaussen. Salju sudah mulai membentuk ‘jalan es’ di sepanjang Emscher meskipun masih terlihat tipis karena aliran sungainya bisa terlihat mengalir pelan di bawah permukaan ‘jalan es’ itu. Sepanjang jalan Emily menggenggam erat tanganku. Ya, cuaca di musim dimana salju terus mengguyur seperti ini akan sangat dingin kendati berlapis-lapis pakaian hangat sudah dikenakan. Sepanjang jalan kami banyak berpapasan dengan siswa-siswa Saint Petrus’s High School-sebuah sekolah lanjutan setingkat dengan SMA di Oberhausen-yang tersenyum ramah setiap kali bertatap mata. Hari ini cukup memiliki energi positif meskipun sangat beku rasanya di tulang. Semburat matahari pun terlihat samar karena tertutup kabut dan awan. Di sepanjang jalan raya yang sekarang sudah ‘resmi’ menjadi lahan bermain salju anak-anak kecil terlihat 1-2 mobil pengeruk salju dengan petugasnya yang sibuk berteriak-teriak menghalau anak-anak kecil agar tidak bermain di jalur mobil pengeruk salju yang sedang beroperasi. Di sela-sela batang pohon Oak yang mulai meranggas sekeluarga tupai memulai hari mereka dengan mengangkut beberapa kenari. Sepagi ini mereka sudah giat bekerja. Ada seekor yang masih kecil sedang berusaha menggeser buah kenari yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya sendiri. Aku tersenyum melihatnya. Aih, si mungil itu, rupanya dia ingin berbuat sesuatu untuk keluarganya. Alam sungguh sebuah manifestasi dari kampus kehidupan yang nyata.

Langkah ku percepat. Kereta berangkat ke Frankfurt pukul 06.05 tepat dan aku tak mau ceroboh dengan datang di stasiun Schleuber tidak tepat waktu. Kereta api di Jerman terkenal sangat tepat waktu. Terlambat 15 detik saja dari jadwal keberangkatan, bisa dipastikan kita harus rela menunggu 1 jam kemudian untuk mendapat kereta dengan tujuan yang sama. Jangan harap bisa naik jika tidak memiliki tiket. Semua tetek-bengek transportasi di sini sudah dikendalikan by system. Mungkin hanya ada 1 atau 2 petugas dari perusahaan kereta api di setiap stasiun yang bertugas sebagai operator dari sistem navigasi dan sistem transportasi untuk kereta api di negara ini. Sangat mendukung budaya masyarakat Jerman yang beretos kerja tinggi dan berdisiplin waktu. Terkesan diburu oleh waktu. Kembali memori otakku melintas ke tanah air, Indonesia yang sangat easy going terhadap hal-hal semacam ini. Aih, negeri itu memang selalu bisa menerbitkan senyum kala aku mengingatnya. Senyum miris pun masih terhitung sebagai senyuman bukan?

Pengarang & Penulis Original :
G u n a w a n   W i y o g o   S i s w a n t o r o

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)