Lumbung Sumber Daya Alam Energi #1: Sejarah dan Relikui Kedaulatan Modal Indonesia
"Our jobs, our way of life, our own freedom and the freedom
of friendly countries around the world would all suffer if control of the
world’s great oil reserves fell into the hands of Saddam Hussein.”
–George W. Bush, Presiden AS-
Satu alasan mengapa kutipan yang dimuat The New York
Times pada 16 Agustus 1990 di atas menjadi menarik untuk disimak di
sela-sela riuh gejolak kebijakan harga BBM saat ini adalah betapa perkara energi,
khususnya minyak bumi, benar-benar menyita perhatian seorang kepala negara setingkat
George W. Bush. Sebuah pandangan dari George W. Bush sejatinya sejalan dengan
visi Presiden Soekarno. Meskipun masing-masing dari kedua tokoh itu membawa
kepentingan negaranya masing-masing, pun dengan cara yang jelas berbeda karena pandangan
tersebut nyatanya diterjemahkan George W. Bush dan suksesornya menjadi perang
yang berkepanjangan di Irak maupun wilayah Timur Tengah yang lain.
Mari sejenak melongok sejarah (dan segala detail intriknya) demi
mendapat gambaran yang cukup utuh mengenai persoalan sumber daya alam mineral
khususnya minyak bumi di Indonesia. Sedikit yang mengetahui sejarah perminyakan
pada masa-masa awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wawasan
mengenai sejarah tersebut mungkin dapat memberikan satu pemahaman yang menarik.
Kala itu, Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, terbukti sebagai negarawan
yang tidak hanya piawai dalam percaturan politik namun juga cukup visioner
memandang masa depan suatu negara dan kemakmuran rakyat di dalamnya. Soekarno cukup
peka melihat posisi Indonesia yang kaya sumber minyak dan energi. Sebuah fakta
yang mendorong presiden Soekarno berusaha membentengi kekayaan sumber minyak
dan energi dari campur tangan asing sedini mungkin Di sela-sela gejolak suasana
politik Indonesia yang masih seumur jagung, Presiden Soekarno menuangkan
gagasannya terkait perlindungan hak negara terhadap sumber minyak dan energi
yang dikenal dengan sebutan Aksi Kedaulatan Modal. Aksi Kedaulatan Modal
merupakan sebuah bentuk pandangan baru yang ditawarkan Soekarno sebagai
alternatif ekonomi dunia untuk saling menghormati kekayaan sumber alamnya
masing-masing, sebuah dunia yang saling menyadari keberadaan masing-masing.
Gagasan yang dicetuskan Soekarno pada tahun 1957 tersebut demi menjawab
perebutan kekuasaan antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat ini sontak
mengundang reaksi dari kedua kubu yang berkepentingan terhadap Indonesia. Bahkan
pada 1956, Soekarno melalui dunia Internasional, mendesak Belanda menyerahkan
Papua (bernama Irian Barat kala itu) kepada Indonesia dengan disertai tantangan
untuk berperang jika Belanda menolak. Cukup menggambarkan bahwa Soekarno sangat
menyadarinya betapa kedaulatan kekayaan bumi Nusantara memang harus dijaga
meskipun harus mahal dibayar, bahkan perang sekalipun.
Concern Soekarno terhadap sumber daya minyak yang dimiliki
Indonesia terus berlanjut. Pada tahun 1960, UU No. 44/tahun 1960 diterbitkan.
Salah satu kutipan isi dari UU pada pasal 2 itu antara lain berbunyi, “Segala bahan galian minyak
dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara”. Sontak, perusahaan perminyakan
asing kelabakan saat dipaksa untuk tunduk pada UU tersebut. Pilihannya hanya
dua, berbagi kesejahteraan secara adil kepada rakyat Indonesia atau keluar dari
Indonesia.
Kedaulatan modal Indonesia kala itu mutlak. Indonesia punya
lumbung minyak yang berada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan sementara di Papua
ada gas bumi dan emas yang melimpah. Soekarno memperkirakan dalam beberapa
dekade ke depan kebutuhan energi dan minyak akan semakin besar dan seiring dengan
kedaulatan modal yang dimiliki, Indonesia akan berjaya. Hal tersebut juga yang
melandasi Soekarno menggagas Permina sebagai perusahaan konglomerasi yang
nantinya mendorong perusahaan-perusahaan negara lainnya untuk tergabung di
dalam Struktur Modal Nasional. Ironisnya,
di saat konsep dan gagasan Kedaulatan Modal yang diusung Soekarno seakan hilang
di bumi pertiwi beliau, dewasa ini Struktur Modal Nasional tersebut justru banyak
dipakai negara-negara kaya seperti Dubai, Arab Saudi, Cina dan Singapura.
Mereka membentuk apa yang dinamakan Sovereign
Wealth Fund (SWF), yaitu sebuah struktur modal nasional yang digunakan oleh
pemilik usaha di negara-negara tersebut untuk mengakuisisi perusahaan di negara
asing. Sebagai referensi, tengok saja bagaimana proses Temasek menguasai saham
Indosat.
Namun nyatanya pergolakan yang harus dihadapi Soekarno tidak
hanya dari luar Indonesia. Penelikungan kekuasaan oleh orang-orang terdekatnya yang
berujung pada pencekalan terhadap Soekarno menjadi satu milestone meredanya perjuangan sang Proklamator. Perang terhadap
perusahaan asing pun mengendor. Terbukti sampai akhir 1966 Shell dan
Stanvac lenggang-kangkung beroperasi di sumur kilang Plaju,
Wonokromo, Balikpapan, dan Cepu. Belum lagi blok Tarakan yang juga
terus-menerus dirongrong. Hasil olahan dari perusahaan-perusahaan tersebut
kemudian dijual dengan margin
keuntungan yang maksimal.
Pergerakan politik kembali bergolak dengan beralihnya tampuk
kekuasaan ke Soeharto. Peralihan yang dengan segera melejitkan Soeharto melalui
berbagai program pembangunannya yang lebih dikenal dengan REPELITA berbagai
jilid. Namun sang Suksesor seakan menjadi pembuka pintu bagi para pemodal asing
untuk berbondong-bondong merongrong kedaulatan modal yang digagas Soekarno.
Pemerintahan Soeharto seakan semakin mempermulus hal tersebut dengan
diterbitkannya Undang-Undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967). Perusahaan Chevron
yang pada 1944 mendapatkan hak penemuan sumur cadangan minyak terbesar
Indonesia semakin memperkuat penguasaannya. Tak terkecuali
perusahaan-perusahaan asing serupa seperti Exxon dan Freeport. Konsesi
eksplorasi besar-besaran dengan termin puluhan tahun semakin mulus terlaksana. Sebagai
contoh dari implementasi UU No.1 Tahun 1967 adalah Ijin Eksplorasi Freeport. Ijin
eksplorasi Freeport dimulai pada tahun 1967 dan berakhir pada tahun 2021 serta
kemungkinan perpanjangan 2x10 tahun (sampai tahun 2041). Kabarnya konsesi tersebut
akan diperpanjang/diperbarui lagi sampai sekian puluh tahun ke depan dengan
ijin wilayah yang jauh lebih luas lagi. Kontrak dan konsesi Chevron pun tak
jauh beda. Miris.
Hasilnya? Disinilah kita sekarang, membayar lebih untuk membeli
keringat sendiri. Sebagai penutup, dengan meminjam apa yang pernah disampaikan
Soekarno pada satu kesempatan, “Jangan
dengarken asing! Jangan mau dicekoki Keynes, Indonesia untuk bangsa Indonesia!”
Salam.
Gunawan Wiyogo Siswantoro
Referensi dan saduran :
-Sejarah Sistem Fiskal Migas Indonesia. Abdul Nasir.
Grasindo-Jakarta 2014
Comments
Post a Comment