Jalan Seorang 'Wayang' : Part 1 (Potongan Novel)

Frankfurt am Main, 12 Desember 2015.
Salju perlahan menuruni langit Oberhausen pagi ini. Hmmh, pagi yang cerah meskipun sinar matahari masih sedikit sekali yang berpendar. Lambat laun ku tarik selimut tebal wol yang sudah 2 tahun ini setia tak beranjak dari tempat tidur. Selimut itu pemberian ibu saat aku hendak berangkat ke Jerman. Yah, sudah 2 tahun dan rasanya baru kemarin masih bisa ku hirup aroma kampung halaman. Bergegas aku melompat ke dapur. Menyiapkan sedikit pengganjal perut untuk pagi di awal musim dingin yang datang tepat waktu menjelang pertengahan Desember ini. Dingin sekali! Aku periksa penunjuk suhu ruangan. Ouch, 4 derajat di bawah nol. Sambil tersandung-sandung terpaksa aku ambil baju tebal musim dinginku, kalau tidak dalam satu jam bisa dipastikan kulit dan bibirku pecah-pecah berdarah. Untung lah ini hari Minggu, aku bisa ongkang-ongkang kaki sampai siang dan tentu saja tanpa mandi.
Entah mengapa siaran televisi mendadak menjadi begitu menjemukan padahal ini hari libur. Televisi lokal sedang menyiarkan isu politik pencalonan wali kota Oberhausen. Aku tak berminat dengan apapun yang menyandang nama ‘politik’. Basi, kuno, busuk, no fairness. Segala keburukan dunia ini ada di hal (atau apalah namanya) yang bernama ‘politik’ itu. Tidak, sama sekali tidak. Aku bahkan tak pernah sekalipun masuk ke dunia politik. Puas membolak-balik channel tv tanpa tahu mencari apa, aku putuskan sedikit relaksasi keluar apartemen. Menyusuri Sungai Emscher boleh juga. Ehm, rasanya sudah lama sekali sejak kali terakhir aku keluar menikmati sore yang indah menyusuri Sungai Emscher. Sungai yang membelah Oberhausen ini memang lebih menawan saat musim dingin datang. Bongkahan-bongkahan es yang mulai terbentuk mengapung perlahan mengikuti arah arus. Dalam 1-2 minggu ke depan, sungai ini akan membeku membentuk semacam jalan raya ‘putih’. Aku biasa menyusurinya memakai snow mobile* bersama Emily.  Teman sekantorku yang tinggal di ujung jalan. Dia berjenis kelamin perempuan (setidaknya itu yang ku lihat di kartu identitasnya). Apa pasal? Penampilan dan tingkah lakunya seakan mengkhianati keterangan di kartu identitas tersebut. Dia cukup ‘lelaki’ jika tidak mau disebut tomboy.
Pelan, sudah 1 jam lebih aku berjalan di tepi Sungai Emscher, belum banyak bongkahan es yang mengapung-apung. Menunduk aku tatap lekat-lekat setiap sepatuku menapak jalanan bersalju yang menghampar panjang di hadapanku. Pikiranku sudah terdeportasi melintas benua. Kampung halaman, rumahku. Tak tahu, mendadak aku begitu merindukan suasana rumah. Bagaimana kabar Ayah? Apa Ibu sudah sehat? Ah, durhakanya aku. Aku bergegas pulang ke apartemen, ingin segera mendengar suara mereka. Ya, mungkin itu yang membuat beberapa hari terakhir aku seperti terkena radang otak, linglung.
Ku sentuh buru-buru layar iphone-ku. Tersambung, 1 detik, 2 detik, 3 detik…15 detik. Tak diangkat. Huft, ku hubungi lagi. Kali ini sambil berharap cemas semoga tidak ada kabar buruk disana. Tersambung. 1 detik, 2 detik, diangkat!!! “Halo, Assalamualaikum, Buk? Kok mboten diangkat ingkang pertama kolowau?”. Sayup terdengar suara serak ibuku, “Walaikum salam, ibuk lagek ngumbah klambi iki lho, ono opo Le? Kowe ra opo-opo tho?”. Ada yang mengurai di dalam sana, di dalam hati. Hangat dan nyaman. Senyumku mengembang. Sudah sekitar 1 bulan yang lalu terakhir kali aku menghubungi kampung halamanku
 “Mboten wonten nopo-nopo Buk, Cuma kangen niki wau, kabar Ibu-Bapak pripun?”. Suara Ibu terdengar lebih cerah dan ringan sekarang. Entah karena efek penghangat ruangan atau hal lain, kehangatan semakin menjalar di seluruh tubuhku.
Oalah, iyo Ibuk yo kangen iki maeng, lah kok malah tembus tenanan. Bapakmu isih ning sawah, biasa ra ngerti pegel kui”.  jawab ibu lembut, aku ragu sejenak untuk melanjutkan percakapan atau tidak. Aku bingung mau berbicara apalagi, spontan aku menutup pembicaraan, “Nggeh pun mekaten, kulo pamit siram rumiyen, yotro e tak sih cukup?”.
“Cukup Le, ati-ati yo nak, pandungo e ibuk lan bapak tetep ngiringi awakmu, Assalamualaikum”, terasa ada yang berderak di dalam, “Nggeh Buk, Walaikum salam”, klik!
2 menit percakapan via telepon dengan ibuku berdampak positif. Seumpama grafik ekonomi, bisa digambarkan dengan adanya slope positif. Perasaan hangat itu menjalar dari dada sebelah kiri hingga ke seluruh syaraf, hingga mencapai kepala dan membuka simpul-simpul syaraf otakku dengan lembut. Nyaman dan lega. Nyaman karena suara ibu selalu bisa menenangkanku dan lega karena kabar ibu dan bapak baik-baik saja. Tapi ada sedikit derakan yang terasa mengganjal sesaat setelah aku tutup sambungan telepon tadi. Segumpal kesedihan menyelinap saat ibu bilang bahwa doanya tak pernah putus untukku. Segumpal memang tapi sangat pahit nyatanya. Ibu dan bapak, dalam kesenjaan usianya, tak pernah luput mendoakan keselamatanku. Sedangkan aku hanya berpikir bahwa seiring uang aku kirim maka kewajibanku sebagai seorang anak tuntas. Maka tak urung aku hanya merutuki diriku sendiri. Ku hempaskan tubuh di kasur. Tolol, naif pula…..(To be Continued)

Pengarang & Penulis Original :
G u n a w a n   W i y o g o   S i s w a n t o r o 

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)