Belum Ada Judul (Potongan Novel)
Setiap dari kita memerlukan hobi atau sebuah pengalihan dari
segala rutinitas yang membelenggu. Rutinitas merupakan sebuah bahaya laten,
menurutku. Setidaknya beberapa karib yang berhasil aku racuni juga
mengamininya. Tapi intinya kita perlu menyeimbangkan apa yang rutin menjadi
tidak rutin, apa yang tidak rutin menjadi rutin. Dari sanalah kami memulai,
menjejak, dan menutupnya. Dari sanalah dongeng kami bermula.
****
“Pak Min! Pak Karmiiinn! Jangan ditutup dulu Pak!”
“Ah, sudah! Biarin! Biar kalian dihukum lari memutari lapangan
lagi. Tidak ada kapoknya tiap Senin telat terus!”
“Ayolah, Pak. Kami telat juga bukan niat kami Pak, tapi kehendak
semesta. Semesta memanggil. Semesta, Pak.” Rengek Kendi meratap-ratap.
“Aaaahh, semesta mana lagi yang bakal kalian bawa-bawa sebagai
alasan? Membantu nenek-nenek tua bawa belanjaan? Ada kecelakaan di tikungan
simpang enam? Atau anjing siapa lagi yang kalian tolong?”
“Bukan, pak. Bukan. Semesta memanggil itu kami antri buang air
besar. Kebetulan pas kami bertiga menjemput Joko, tiba-tiba mules bersamaan. Eh lahdalah si Joko juga lagi sakit perut Pak.
Antri lah kami berempat jadinya.”
“Peningkatan yang luar biasa. Tidak hanya kompak telat, bahkan
urusan WC pun kalian sekarang bisa serempak. Sudah, cepat masuk! Pak Sarminto
sudah memulai wejangannya. Sampai siang nanti pun tidak bakal habis alasan
kalian kalau aku interogasi.”
Aku cengar-cengir saja sembari mendorong motor tua ke areal
parkir sekolah. Lepas dari pandangan geram Pak Karmin, kami berempat cekikikan
sebelum akhirnya kembali memasang wajah tegang. Penguasa ranah sekolah telah
hadir di hadapan kami, Ibunda Sri Ratu Junjungan Agung SMA Negeri 1 Tunas
Harapan Bangsa Negara Agama, Ibu R.A. Sulistyaningayu Kuncoroningrat.
Jumpalitan kami berlomba merapikan baju seragam, kaos kaki, ikat pinggang,
rambut, dasi, atribut seragam yang bermacam-macam. Berharap kami tidak dijadikan
beliau pakan lele di kolam belakang. Lele kolam belakang sekolah memang
terkenal rakus dan beracun. Panjangnya sejangkauan tangan orang dewasa. Pernah
si Bethy, nama ayam betina milik Mbok Wi penjaga sekolah, salah lintasan
kabur saat akan disembelih empunya dan masuk kolam. Akhirnya lele-lele
itu yang pesta makan. Sadis. Saban istirahat siang tidak jarang kami mengusili
lele-lele setan itu dengan melempar segenggam [1]potas atau
racun ikan. Setengah jam mereka biasanya sudah [2]mendem. Gelebak gelebuk kesana kemari.
Tidak mati, hanya setengah mabuk mungkin. Hitung-hitung membalaskan dendam
untuk Bethy yang sejak kami kelas 2 sudah dengan rela telur-telurnya kami curi.
Bethy yang tidak pernah berisik cerewet setiap kali telurnya kami tukar dengan
batu-batu kali kecil. Bethy yang rela batal mengerami hanya karena telurnya
habis didadar Mbok Wi. Rest in Peace Bethy, May God be
with you.
“Ke ruangan saya. Segera. Saya tunggu.” Raung teredam Ibu Raden
Ayu memang setengah berbisik tapi jelas menggaung di telinga kami.
Entah siapa yang memulai, tahu-tahu kami berempat saling
berjabat tangan sedih, berpelukan. Merasa lebih ingat Tuhan.
****
“Your ideas is nonsense! It’s beyond our purposes. Listen to me,
young man. You should keep your wild imagination inside your head if you’re
wanna survived overhere.”
Riecher Bacht memang terkenal dengan perangainya yang keras.
Tulang rahang pipinya seakan menegaskan fakta tersebut.
“I know that you’re very genius, but somehow this company
doesn’t suit with your idealism. My suggestion, Gumilar. Take it or leave it.”
“Bloody moron.” Pungkasnya lagi setengah berbisik.
*Brruuaaakkk!!
Pintu dibanting sejadi-jadinya. Mata pemuda lawan bicaranya
semakin tajam, mendelik tertahan didamprat seperti itu. Sekelebat bayangan
empat sekawan muncul di kepalanya. Buru-buru diraihnya handphone. Mencari nomor
kontak yang sudah hampir satu dasarwasa kasat mata di phonebook miliknya.
*Tuuutttt...tuuttttt...ttuuuttttt*
*Klik*
“....Halo, selamat siang.”
****
Ruangan Ibu Raden Ayu memang luas. Tapi disesaki empat pesakitan
yang sekarang terpekur diam membuat kubikel seluas 5x7 meter persegi itu
seperti menyempit. Susut tersedot hawa suram ketakutan.
“Ngg, kami berjanji Bu tidak akan.....”
“Sssttt..diam!”
Ibu Raden masih menekuri dua lembar kertas yang sedari tadi
membuat beliau sama sekali tidak memandang ke arah kami. Entah apa isi kedua
kertas tersebut, tapi mendengar Ibu Ratu menghela nafas berkali-kali membuatku
semakin gelisah. Seperti ada secuil bara di kursiku sekarang. Tak terkecuali
karib-karibku. Kendi malah sudah 56 kali berganti posisi duduk mulai dari kaki
menyilang, miring 10 derajat, miring 20 derajat, kaki berayun-ayun enggan,
setengah menunduk, dst. Beberapa puluh menit lagi dalam kondisi seperti ini,
mungkin Kendi akan mencatatkan namanya di museum rekor. Gila memang karibku
satu itu. Sejatinya, aku pun tak kalah gila. Menghitung berapa kali seseorang
berganti posisi duduk. Tuhan.
“Oke, sepertinya memang ini kenyataannya.” Ibu Raden akhirnya
membuka pembicaraan dengan hela berat.
“Bu, sebenarnya kami tidak berniat sekalipun untuk telat ataupun
melanggar.....” Suara Kendi menyela cepat menyusul posisi duduknya yang
berganti lagi. Lima puluh tujuh.
“Diam.”
Kendi kembali mungsret di kursinya. Lima puluh delap... ah
tidak. Posisi duduk itu sudah dia lakukan 15 menit lalu. Kembali lima puluh
tujuh.
Lima belas menit selanjutnya, serta merta Ibu Raden bangkit
berdiri dari tempat duduk beliau. Kami semakin terpekur. Beliau menyorongkan 2
halaman kertas yang sejak tadi tak pernah lolos dari pandangan dan
genggamannya. Dua carik kertas itu meluruh pelan jatuh ke hadapan kami berempat.
Kendi yang sudah mencapai 60 jenis posisi duduk langsung menyambarnya.
Kegelisahannya tak terbendung. Dia memang yang paling cepat panik diantara kami
berempat.
“Woi, woi, woi, pelan-pelan Ndi! Baca bareng-bareng sini dong.”
Menjos sudah setengah berdiri saat Kendi seperti membaca surat wasiat demi
mengeja satu-persatu kata-kata yang tercetak disana.
Aku sebenarnya sudah tertarik untuk sekedar ikut membaca. Terus
terang degup jantungku juga sudah hampir limit. Tapi ekspresi
Ibu Raden yang setengah jengkel setengah tersenyum bangga membuatku penasaran.
Ada apa sebenarnya.
“Terus terang awalnya saya mengira ada kekeliruan dan
kesalahpahaman besar yang terjadi dalam Kepanitiaan Pekan Ilmiah Remaja
Kabupaten Mojokerto. Pagi ini, kepanitiaan telah menetapkan 3 nominator
yang akan mewakili kabupaten ini ke tingkat provinsi. Tapi demi melihat 2
dari 3 nama nominator tersebut, saya menyadari bahwa Tuhan masih sudi menunjukkan
betapa kuasaNya sangatlah besar.”
Aku masih melongo dan meraba-raba apa kiranya jenis hukuman kami
dan sangkut pautnya dengan Pekan Ilmiah Remaja yang sudah setengah tahun
belakangan gaungnya terdengar seantero karisidenan khususnya Kabupaten Mojokerto.
Gelap, kalut. Mau tak mau aku akhirnya ikut berebut membaca 2 carik serupa
surat wasiat yang sudah kumal di tangan Semprul. Belum sempat aku melihatnya
dan mereka bertiga sudah mematung demi membaca nama dalam daftar nominator.
Satu detik, dua detik, tiga detik.....
*Bruaakkk!!!
Kendi, Menjos, Semprul berhamburan keluar lari
sekencang-kencangnya. Halaman belakang. Ada apa dengan mereka.
“Woi, tunggu! Kalian kemana?” Aku mengejar mereka sempoyongan.
“Huaaaaahhhhh!!! Jokooo!! Kendiiiiii!!!! Kalian hebat!! Asli!
Yeaahhh!!”
“Uedan!! Kapan kalian kirim masterpiece kalian itu, heh?!! Hahahaha!”
“Aaaarrggghh, aku tidak percaya ini. Ini terlalu menggembirakan!
“Heh, heh, mana? Mana? Sini aku baca!” Omelku kepada tiga
begundal yang teriak-teriak girang histeris sambil berlari.
Sudah lupa mereka tampang seram Ibu Raden yang sudah di ujung
ubun-ubun ingin menenggelamkan kami di kolam lele. Dua carik kertas aku tarik
tepat sebelum mereka bertiga melompat menceburkan diri ke kolam lele. Ibu Raden
bisa puas melihat karib-karibku disengat racun-racun lele.
“Mmmhh..hhmm..sehubungan...Pekan..iya..dengan..ini..kami..panitia..tidak..dapat..iya..gugat..menyatakan..iya..hhmmh..nominator
kedua : Gumilar Wijoyo Sastrosatyo dengan rancangan proyek : Perakitan
Prototype Penangkap Gas Metana Fermentasi Sampah Organik
..iya..hmmh..terus..nominator pertama : Shafiqih Ramadhansetyo dengan rancangan proyek : Perakitan
Pendeteksi Sinyal Selular Sederhana....nominator ketiga : [3]TERSERAHAHAHAHA
...Kendi! Menjos! Semprul! Kita pesta [4]kreco malam ini di rumah!” Teriakku ikut
melompat ke dalam empang.
Bahkan musuh terbesar pun ingin kami ajak berbahagia. Kami
berempat saling merangkul dan terbahak-bahak bahagia di dalam empang. Tidak
peduli lagi pandangan heran seisi sekolah ataupun sengatan lele di ujung-ujung
jari.
“Gumilar! Shafiq! Kalian berdua segera mandi dan keringkan
seragam kalian. Segera kembali ke ruangan saya setelahnya. Yoga dan Rahardika
juga segera mandi dan masuk kelas. Wali kelas kalian sudah memulai pelajarannya
5 menit yang lalu.” Ibu Raden menuding-nuding kami dari tepian jauh kolam.
Beliau jijik demi melihat kami berjingkat-jingkat penuh lumpur
dan ruam-ruam merah sekujur tubuh. Kami hanya mengangguk-angguk kecil sambil
mengusapi wajah. Gatal dan panas rasanya.
Gunawan Wiyogo Siswantoro
Timika, 4 Januari 2014.
Footnote
[1] racun ikan
[2] mabuk
[3] nama
nominator ketiga yang tercantum sebenarnya adalah : Catur Bagus Allent
Putra Fikri Bloody Bastard
[4] kreco adalah sejenis siput kecil yang banyak dijumpai di sungai atau
menempel di pematang sawah. Lebih banyak dimasak sayur lauk di beberapa daerah
Jawa Timur.
Comments
Post a Comment