Matematika: Catatan Tentang Cinta Posesif nan Mistis (Opini)

Dulu kecintaan saya pada eksakta sudah mencapai level akut. Entah itu fisika, biologi, kimia, atau malah matematika. Cinta pertama tentu saja matematika. Matematika itu bapak dari segala ilmu, sebuah pendapat egois dari seorang pribadi. Toh filosofi sebagai ibu dari segala ilmu sudah dishahihkan, jadi apa ooosalahnya jika kita carikan beliau pendamping biar tidak kesepian. Ok, balik ke matematika.

Saya selalu percaya bahwa matematika itu mistis, fair dan romantis. Dalam setiap caraNya yang sampai sekarang belum bisa terdefinisikan, hampir semua gaya saya berlogika, berpikir, menyusun rencana, mematangkan persiapan, mengatur strategi bahkan pada level bersosialisasi pun terpengaruh dari beberapa logika matematika. Saya menyadari hal itu ketika saya masih duduk di bangku SMP kelas 1 semester ganjil, bulan pertama dan mencoba memetakan keahlian masing-masing teman sekelas lalu menuangkannya ke sebuah wujud matriks sederhana yang kemudian dengan sukses menjadi kunci saya berkompetisi selama 3 tahun selanjutnya. Tentu saja pada waktu itu saya belum kenal substansi statistika ataupun mindmapping. Sejauh yang saya ingat, saya sudah kenal konsep Diagram Venn kala itu.

 Awal kecil itu nyatanya menuntun saya memahami setiap mata pelajaran yang semakin jenjang semakin luar biasa bebannya baik hapalan maupun perhitungan, baik teori maupun praktek. Alhasil setiap beban mata pelajaran baru, beberapa matriks saya petakan meskipun banyak diantaranya yang hanya mengabut di pikiran saya dan tetap efektif!

Lebih jauh matematika semakin menjadi candu saat beberapa persoalan dalam kehidupan nyata selesai dengan berpatok pada prinsip-prinsip matematika versi saya. Bukan prinsip matematika seperti jumlah semua sudut dalam segitiga sama dengan 180 derajat atau garis tinggi selalu tegak lurus dengan bidang horisontalnya atau sejenisnya. Bukan. Prinsip ini menurut saya sangat mendasar dan saya dapatkan selama proses mengutak-atik kombinasi angka 0-9 itu serta bermonolog di waktu senggang saya yang eksponensial. Jadi seperti ini, setiap saya dapat persoalan entah persoalan dari pelajaran, dari sosialita, dari keluarga, otak saya secara otomatis akan berkata, “Perhatikan detil,  kumpulkan semua informasi, kombinasikan, temukan polanya, lalu EKSEKUSI”. Resep manjur saudara-saudara sebangsa dan setanah air!!

Bahkan pernah dalang kondang nan sedeng, Mbah Sudjiwotedjo bilang, “Matematika itu bukan tentang hitung-hitungan, matematika adalah tentang logika dan konsistensi logika kita. Tidak ada pelajaran yang terbaik untuk melatih logika atau konsistensi kecuali matematika”. *MAMPUS!! EAT THAT B*ITCH!!* batin saya! Saya selalu berusaha mendefinisikan pada teman, kerabat betapa matematika akan sangat menolong mengurai setiap persoalan bahkan pada tingkatan hal yang tidak berhubungan dengan angka sekalipun dan Mbah Sudjiwotedjo dengan entengnya membantu saya meredefinisikan lagi konsep itu. Penasaran loh saya, Mbah Tedjo sehari-harinya kalau tidak ndalang, berisik di Twitter, ya main saksofon. Lah kok dengan indah nan dinginnya ngobrol matematika sedalam itu. Jedeeerr, beliau notabene jebolan Fakultas Matematika Murni ITB (1980) plus Teknik Sipil ITB (1981). Pantaslah.

Mau lebih jauh? Saya pernah membaca suatu artikel bahwa Picasso mempunyai gaya bernalar matematika yang unik untuk menciptakan karya seninya yaitu mencari unsur esensial suatu obyek (kalau boleh saya bilang ini prinsip “Perhatikan detil. Kumpulkan semua informasi”), kemudian pola konkret ke abstrak (“Kombinasikan. Temukan polanya”), dan membangun gagasan melalui pola (“EKSEKUSI”).

Matematika itu romantis, tapi romantisnya itu romantis dingin, cuek. Orang ekonomi bilang, indifferent. Romantis karena banyak yang bilang, “masak konsep hitung-hitungan kamu terapkan sama cinta, nggak nyambung!” Matematika itu romantis karena dia itu seni. Orkestrasi dan harmonisasi dari semua konsep. Pacar pertama saya pun saya rayu pakai matematika. Tanya saja kalau tidak percaya. Tapi entah dia sadar atau tidak.

          Terakhir,
“Seseorang yang musiknya bagus, seharusnya matematikanya harus bagus karena sangat berhubungan, begitupun pasti sastranya bagus. Namun banyak musisi dan sastrawan kurang bagus matematikanya, ini berarti matematika diajarkan dengan cara yang salah oleh kurikulum.” - Sudjiwotedjo,
dan saya hanya bisa takzim berkata, “SHAHIH!” 



Gunawan Wiyogo Siswantoro
12:44 WIB, Cempaka Putih, 24 Maret 2013

Comments

  1. cie, mate-mati-kawan.

    ^
    dilihat2, serem bener kombinasinya. haha

    ReplyDelete
  2. kombinasi apa permutasi, San? *masihmathlag

    ReplyDelete
  3. matematikaaa.. miss that thing

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)