Pancoran (Cerpen)
Pagi
belum genap, ibu sudah membawa segayung air sebagai
pengganti jam weker. Setengah gelagapan
tersedak air, aku pontang-panting berlari ke tempat wudhu.
“♫♫...si Budi kecil kuyup menggigil..menahan dingin tanpa jas hujan..di simpang jalan Tugu Pancoran...tunggu pembeli jajakan koran ....♫♫”
Masih terpejam aku mengikuti lirik lagu itu. Kira-kira kelas berapa si Budi ini? Tugu Pancoran itu dimana sih? Seperti apa ya sore berhujan di Tugu Pancoran?
“...asholatu
khairum minannaum... asholatu khairum minannaum...” Suara serak Wak
Limin terdengar dari corong surau.
“Rampung sholat, ojo keturon maneh nang mburi! Ndang muleh,
makani pithik terus sisan nggolek o kayu nggo masak, nggeh?” Kali ini suara
ibu yang kencang.
“Nggeh, Buk.”
Sahutku setengah berlari menuju satu-satunya surau di desa kami demi melihat
Wak Limin tertatih-tatih menuju tempat imam. Subuh selalu seperti ini di
desaku. Dingin dan damai.
Jam dinding usang di ruang tamu menunjuk pukul 04:45 saat
aku bergegas membantu ibu membuka toko kelontong depan rumah. Toko kami kecil,
jualannya pun seadanya. Kadang kalau dagangan sudah hampir habis tapi uang
modal entah menguap kemana, toko tidak buka, tidak jualan sehari dua hari.
Setelah dapat pinjaman sedikit, buka lagi.
Biasanya selepas menata rentengan snack, bak-bak berisi
beras, terigu, dan barang dagangan yang lain, aku mendapat giliran pertama menjaga
toko sebelum bersiap berangkat sekolah. Sementara ibu dan mbakyu kelabakan di
dapur, bapak pasti sedang asyik merayu Honda Astrea ’70-nya yang rajin ngambek
tiap pagi. Padahal ditengok jerohan mesinnya sebentar, sudah nyala lagi.
Kecintaan yang ternyata suatu saat menurun padaku.
Kaki ku selonjorkan di sela-sela karung beras di bawah
meja toko. Setengah terpejam aku menunggu saat-saat tetangga depan rumah menyetel
lagu-lagu lawas. Salah satu kenikmatan yang tak terbeli, setiap pagi. Selera
musikku memang sedikit berbeda untuk seusia bocah SD kelas 4.
“♫♫...si Budi kecil kuyup menggigil..menahan dingin tanpa jas hujan..di simpang jalan Tugu Pancoran...tunggu pembeli jajakan koran ....♫♫”
Masih terpejam aku mengikuti lirik lagu itu. Kira-kira kelas berapa si Budi ini? Tugu Pancoran itu dimana sih? Seperti apa ya sore berhujan di Tugu Pancoran?
“Larr..Gumilarr, ayo ndang siram! Ayo wes jam
setengah enem.” Teriak ibu dari ruang tengah. Keriput jarinya bergerak
lincah menata baju seragamku yang sedang diseterikanya. “Dasi lan topine dicepakke dhisik, ben ora gopoh pas budhal.”
Pukul 6 lebih sekian menit biasanya aku
sudah rapi di atas sadel sepeda BMX kesayanganku. Kecil, butut tapi jagoan.
Tiap hari aku periksa jeruji ban-bannya. Kalau-kalau ada yang kendor, aku lapor
bapak. Biasanya bapak cuma ngomel-ngomel pelan selagi mengencangkan jeruji itu
karena aku masih belum tahu betul seberapa kencang jeruji ban harus disetel.
Kadang bapak marah kalau aku lupa sekedar mengecek rem. Kata beliau selamat itu
nomer satu, benar nomer dua. Aku cuma manggut-manggut masam meskipun tidak
mengerti sepenuhnya. Kalau kayuhannya rajin aku olesi oli bekas biar enteng pas
digenjot, balapan sepanjang jalan pulang sekolah. Lawannya? Tentu saja
karib-karib sekelasku.
Setengah 7, aku dan kawananku sudah
menginjak pelataran sekolah kami yang hijau oleh rerumbun daun-daun pohon
kersen. Pohon-pohon ini sudah demikian tua nan tegap saat kami masih malu-malu
datang 4 tahun silam dan kemudian tak genap sebulan semua pepohonan itu sudah
kami jelajahi. Setiap Pak Karso, penjaga sekolah kami, memukul kentongan 3
kali, artinya waktu istirahat tiba dan sesegera pula aku beserta segenap
gerombolan yang lain menghambur keluar kelas berebutan memanjati dahan-dahan
tua itu. Hahaha, liar dan beringas laiknya berebutan singgasana. Tak peduli
kakak kelas ataupun adik kelas, siapa yang kalah gesit harus rela menunggu
esoknya untuk duel adu gesit lagi. Biasanya teman sekelas yang kalah tadi harus
bersedia membelikan pesanan jajan yang menang. Yah, semacam hukum tak tertulis
begitulah. Sekali waktu aku menang, sekali waktu kalah, aku tak pernah
menghitungnya.
“Lar, pulang sekolah main gubuk-gubuk’an
yok! Mumpung mongso rendeng masih
jauh.” Nugroho teman sebangku sekaligus teman satu RT tiba-tiba membuyarkan
kantuk di tengah pelajaran matematika yang sedang didaras Pak Mis’ut.
“Gumilar! Nugroho!” Sentak Pak Mis’ut
tanpa menoleh dari buku yang dibacanya. Beliau hapal empu setiap jenis suara
yang terdengar di wilayah kekuasaannya, ruang kelas 4 ini.
“Tapi karung goni sama kardus di rumahku
sudah habis, Nug. Lagian mau bikin gubuk dimana? Justru musim kemarau gini
makin gerah kalo di dalam gubuk.” Jawabku setengah berbisik, mengelak. Sepulang
sekolah aku sudah berniat main ke rumah mbak Sinta, kerabatku yang kabarnya
kuliah di Surabaya. Aku penasaran sama Tugu Pancoran. Siapa tahu mbak Sinta
pernah kesana.
“Gumilar Wijoyo Sastrosatyo!”
Siaga satu! Kapal miring, Kapten!!!
Kalau Pak Mis’ut sudah memanggil nama lengkap siswanya, maka pengadilan ala Pak
Raden Misbakhun Utomo akan digelar kalau yang bersangkutan terdengar lagi
suaranya. Aku tak punya pilihan lain selain duduk terpekur di kursiku. Mungsret.
*****
Tegukan terakhir dari secangkir latte masih membekas di ujung lidahku.
Setengah menyesap, aku mencari sisa-sisa pahit manisnya. Tak ayal paru-paruku
serasa semakin mengerut dijejali udara minus 4 derajat. Cuaca seminggu ini drop sampai dibawah nol. Pantas daritadi
hanya satu dua orang saja yang keluar masuk kafe ini. Biasanya, pada saat cuaca
lebih hangat, kafe ini penuh bersesalan pengunjung, mulai dari yang sekedar
nongkrong atau sedang janji ketemuan. Rupanya penduduk lokal Herwijnen lebih doyan menggosok-gosok
tangan sambil memandangi tungku api di rumah masing-masing saat musim dingin
merangkul kota.
“Bodohnya, kenapa aku datang setengah
jam lebih awal.” Rutukku sendiri. Sebenarnya aku berniat memesan latte lagi, barang secangkir dua
cangkir. Namun demi melihat kantongku yang hanya berisi recehan sen euro, naluri adaptiflah yang menang.
Tepat pukul 08.00 waktu setempat, seorang
pria berambut hitam ombak masuk kafe. Tangan di saku mantel dengan mata
elangnya menyapu seluruh ruangan. Dia mencariku. Aku melambai padanya dan
seketika senyumnya mengembang.
“It’s
a cold day, isn’t it, kiddo. Hehehe,
cangkirmu sudah kosong rupanya.” Sapanya khas. Kang Diman. Tangannya melambai
pada pelayan memesan 2 cangkir latte.
“Bagaimana rasanya sebulan di Belanda? Kau betah?” Aku nyengir menyadari
sindiran itu. Memang, dulu semasa masih di Jakarta, aku sering berdebat dengannya
soal nasionalisme. Menurutku sungguh tidak adil plus tak manusiawi bahwa
setelah dijajah lebih dari 3 abad, Indonesia hanya mendapat balasan sejumlah
hibah. Harga diri bangsa ini diinjak saudara-saudara! Biasanya kalau sudah
begitu Kang Diman, dengan gaya khasnya yang setengah cuek setengah malas,
menepuk bahuku sembari ngoceh santai, “Besok kita balas mereka dengan cara yang
elegan, kiddo.”
“Lihatlah
Kang negara ini, makmur lengkap dengan arsitektur kokoh nan tua di setiap sudut
kota. Gaya arsitektur serupa yang sering kita temukan di Indonesia. Di setiap
stasiun, situs-situs kota tua Jakarta atau di Surabaya. Aku berani bertaruh,
negara ini dulunya dibangun dari hasil memeras keringat darah moyang kita!”
Darahku menghangat di tengah dinginnya ruangan kafe.
“Sudah, sudah. Besok sibuk nggak? Ikut
aku ke kawasan hutan Staatsbosbeheer. Ada
pencanangan pembangunan kincir angin disana. Belanda sedang serius menggarap
setiap potensi energi alam
mereka. Beberapa momen mungkin bisa aku ambil. Aku sendiri masih kurang yakin
apakah kincir angin di tengah hutan tidak mengganggu ketenangan penghuninya.”
Aku mengangguk-angguk pelan sembari
meniupi secangkir latte yang mengepul
riang di depanku. Di luar pekerjaan utama Kang Diman sebagai editor majalah
sosial di Belanda, hobinya dalam photograpy
dan berpetualang di alam bebas memberinya akses-akses informasi apapun tentang
lingkungan hidup di sekitarnya. Tentu sangat mendukung kearifannya dalam
menentukan suatu tulisan layak terbit atau tidak mengingat pangsa majalahnya
adalah isu-isu sosial dan kelestarian alam.
“Oh ya ngomong-ngomong, on job training-mu apa kabar, Lar?
Kemarin aku coba cari beberapa referensi tentang technomicroba..technomicro,
apa lah...”
“Technomicrobiology
kang”
“Ya, ya, technomicrobiology”
“Terus?”
“Yah....nggak ada
referensi yang bagus.”
“Sudahlah kang, percaya
sama adindamu ini.” Aku pandang Kang Diman yang sedang berpura-pura
mengaduk-aduk latte-nya. Ragu-ragu
dia membuka mulut. Tak jadi. Lalu aku mendengar nada bicaranya berubah.
“mmh....Lar, nonton
karnaval, yok!”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Oke, yok!”
Aku tahu topik terakhir pembicaraan kami
masih memutari otaknya saat dia keluar dari kafe, dan aku pun tahu dia tak mau
berdebat lebih panjang denganku. Setidaknya kami masih bisa menikmati karnaval
bersama. He’s my partner in crime anyway.
*****
Pagi-pagi sekali mbak Sinta menggoyang
bahuku pelan. Semalam aku tidur sangat larut. Masih mengerjap-ngerjap tak rela
sambil mencoba mengingat-ingat mimpiku semalam, aku memeluk guling lagi. Mbak
Sinta memainkan mataku sambil tertawa pelan.
“Lar,
bangun, Le. Sudah pagi. Katanya mau
ikut mbak belanja.”
“Berangkat
jam berapa mbak? Mbak mandi dulu deh, dandan yang cantik. Nanti kalau sudah mau
beres, baru aku mandi.”
“Heeeeh,
iki bocah ndablek pancen. Mbak sudah
mandi, sudah dandan. Ayo buruan, nanti mbak tinggal, loh!”
Sempoyongan aku berjalan ke kamar mandi.
Cuci muka, gosok gigi, beres! Cukup 10 menit
dan aku sudah siap sembari tersenyum riang dibonceng mbak Sinta
jalan-jalan keliling Jakarta. Mbak Sinta cemberut saja tahu aku cuma cuci muka.
Dijitaknya pelan kepalaku sebelum berangkat.
Sebenarnya hari masih petang. Jam 5
subuh mungkin. Tapi sepeda motor, mobil pribadi, bus, angkot, taksi, mobil
polisi, kendaraan roda tiga bermotor, sepeda pancal, ronjot, mobil dinas, pokoknya semua yang
bisa lewat jalan raya serasa tumplek blek.
Orang Jakarta rajin-rajin ya, pikirku.
Pukul 6, tanganku sudah tak muat lagi
dipenuhi tentengan bumbu masak dan berbagai bahan mentah masakan. Ini
eksploitasi! Aku kan masih jauh di bawah umur! Awas saja, aku tuntut dia es
krim sekotak besar nanti!
Aku tahu motor melaju ke arah timur saat
mataku mulai silau.
“Mbak,
kemana sekarang?”
“Belanja
bulanan.” Jawabnya singkat.
“Masih
jauh?”
“Jangan
ajak mbak ngobrol sekarang, Larr. Nubruk nanti!”
Kami berhenti di sebuah toserba. Mbak
Sinta turun dan mengunci stang. Barang belanjaan ditinggal di motor.
“Kamu
duduk di atas motor saja ya, Lar. Jaga belanjaan. Mbak sebentar kok. Nanti tak
beli’in es krim sekotak besar” Hohoho, dia membaca pikiranku.
“Iya,
mbak. Es krim ya.”
Setengah jam dan mbak Sinta masih
disana, berdesakan. Aku mulai bosan saat dari jarak 50 meter aku melihat
semacam rombongan atraksi barongsai tapi bukan berbentuk macan atau ular.
Sepasang boneka raksasa berbentuk manusia. Melihat dari bentuknya tentu yang
satu laki-laki dan yang lainnya perempuan. Ada orang di dalam boneka itu yang
menggerakkannya, bergoyang dan meloncat-loncat kecil aneh dengan diiringi
alunan musik tradisional ala kadarnya. Lucu.
Sadar-sadar aku sudah ikut rombongan itu
menjauh dan....tersesat! Setengah panik aku berhenti, memutar tubuhku mencoba
mengenali dimana aku sekarang. Nihil! Tentu saja nihil, belum genap seminggu
aku di Jakarta! Aku mencoba mengingat-ingat jalan ke tempat ini. Tapi daerah
ini seperti labirin dengan gang-gang kecil yang bercabang dan menyulur seakan
tak ada jalan keluar. Aku nekat menyusuri satu gang yang ragu-ragu ku ingat
tadi. Perkampungan kumuh, anak jalanan, got-got mampet. Aku semakin jauh
tersesat. Beberapa gelandangan bergumam aneh melihatku kebingungan. Aku makin
takut. Bagaimana kalau mbak Sinta tidak bisa menemukanku. Aku terus memutari
labirin ini, berharap ketemu jalan raya. Oh Tuhan, aku baru kelas 5 SD, aku
memang nakal sering mencuri mangga Wak Limin tapi....
Ratapanku berhenti saat aku melihat
seorang lelaki 40 tahunan berjalan ke arahku. Wajahnya nanar menengok kanan
kiri sebelum kembali menatapku. Sudah sering aku lihat di tv tentang penculikan
bocah-bocah di Jakarta. Ya Rabb dan sekarang aku merasa akan mengalaminya. Tak
peduli sandalku yang mau putus, aku berlari sekencang-kencangnya. Lelaki tadi
ikut berlari. Oh, makin deras keringat dinginku mengalir. Langkah kakinya yang
panjang tak sebanding dengan jangkauan kakiku. Dia makin mendekat saat sebuah
tangan kecil menarikku lewat lorong sempit di sela-sela rumah. Aku terhenyak
dan langsung berontak. Sial, aku kalah kuat!
“Diam,
ikut saja! atau lu mau dibawa warok tadi, dijadikan kacung, hah??!!! Bentaknya.
Kami berdua terus lari lewat
lorong-lorong kecil. Mustahil calon peculikku tadi bisa lewat celah sesempit
ini. Setelah sekitar 30 menit berlari, kami berhenti di bawah kolong jalan
layang. Napasku serasa mau putus. Sandalku entah kemana. Bocah ini seusia
denganku, mungkin lebih tua setahun dua tahun tapi dia lebih pendek. Badannya
kurus ditempeli kaos kumuh. Punggungnya menenteng tas yang seperti menutupi
hampir semua tubuh belakangnya.
“Kamu siapa? Aku Gumilar, kamu?”
“Panggil gua Diman. Budiman. Tapi
biasanya para pengasong manggil gua Budi. Habis ini kita ke Kantor Polisi
Pancoran, lu lapor aja kesana, bilang tersesat.”
“Hah, kita dimana?”
“Pancoran.”
.....
.......
.........
♫♫...anak sekecil itu berkelahi dengan waktu...demi satu
impian yang kerap ganggu tidurmu...anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu...dipaksa
pecahkan karang, lemah jarimu terkepal...♫♫”
Penulis :
Gunawan Wiyogo Siswantoro
Penulis :
Gunawan Wiyogo Siswantoro
Comments
Post a Comment