Treasury Dealing Room #1: Peluang Pasar Keuangan, Alternatif atau Bumerang? (Opini)
Pasar
Keuangan Indonesia Masih Hijau
Tahun
2012 pasar keuangan Indonesia masih mencatatkan kinerja yang cukup hijau di
tengah riuhnya perekonomian dunia pasca krisis Eropa. Berdasarkan data yang
berhasil dihimpun BPS, IHSG mencatat posisi 4.121,55 di kuartal pertama 2012
atau naik 442,88 poin (+12,04%) dibandingkan kuartal pertama tahun 2011. Hal
yang sama terjadi di kuartal-kuartal selanjutnya dimana IHSG ditutup pada
posisi 4.316,69 di akhir kuartal IV tahun 2012 atau menguat 494,7 poin
(+12,95%) dibandingkan posisi di akhir kuartal IV 2011. Kinerja pasar keuangan
khususnya pasar modal yang terus membaik ini tidak lepas dari kinerja sektor
riil Indonesia yang menyokong kondisi perekonomian.
Membaiknya
aktivitas pasar modal dan pasar uang di Indonesia dalam kurun 5 tahun terakhir
tidak terlepas dari sokongan kinerja pelaku-pelaku ekonomi di sektor riil.
Selain itu, keberanian Bank Indonesia selaku bank sentral dan pemegang
kebijakan moneter dengan mengambil langkah mempertahankan suku bunga di kisaran
6,50% - 6,75% selama periode Juli 2009 hingga Oktober 2011. Kebijakan ini
terbukti berhasil menstabilkan kembali kebijakan stimulus yang diambil saat
krisis keuangan tahun 2008 mulai merebak. Seperti yang dilansir di situs resmi
BPS dan BI, pada tahun 2008 suku bunga BI sempat menyentuh level 9,25% guna
menghalangi semakin luasnya dampak krisis suprime mortgage crisis di Amerika
Serikat. Kebijakan ini diambil untuk menyerap dana berlebih di masyarakat yang
berpotensi meningkatkan inflasi lebih cepat. Kebijakan ini dibarengi dengan
kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menaikkan nilai jaminan nasabah
menjadi 2 miliar rupiah, sehingga sentimen negatif para investor dapat
terbendung. Setelah perekonomian mulai stabil, suku bunga BI kembali
dipertahankan di level 6,50% - 6,75% seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Berkaca
dari penjelasan di atas, kebijakan fiskal dan moneter yang tepat dengan dibarengi
pengambilan keputusan di momentum yang tepat menjadi faktor penting yang
membantu Indonesia bertahan dari badai ekonomi saat krisis maupun pasca krisis.
Di sisi lain, gairah pasar keuangan Indonesia ini semakin diperkuat dengan
naiknya posisi Indonesia menjadi negara ber-investment grade pada awal 2012
yang semakin menguatkan posisi Indonesia sebagai tujuan investasi
pemodal-pemodal lokal maupun asing.
Gelembung-Gelembung
Idle cash dan Cash float
Dalam
sektor keuangan atau ekonomi dikenal istilah ‘bubble’ atau gelembung. ‘Bubble’
merupakan suatu resiko koreksi drastis terhadap nilai-nilai aset yang biasanya
diakibatkan karena peningkatan harga aset secara ekstrem berdasarkan harapan
kenaikan harga pada masa depan dan tanpa dukungan fundamental ekonomi.
Parahnya, ‘bubble’ cenderung diikuti dengan pecahnya gelembung itu sendiri yang
artinya terjadi koreksi secara tiba-tiba terhadap nilai intrisik aset dan
berakibat crash (keruntuhan) bahkan resesi. Menilik dari kesamaan resiko
terselubung yang terkandung di dalamnya, idle cash maupun cash float mungkin
bisa dianalogikan sebagai gelembung juga. Gelembung idle cash dan cash float.
Prinsipnya,
idle cash terjadi karena kas yang tersedia/disimpan belum digunakan dalam waktu
dekat sedangkan cash float sendiri kurang lebih memiliki pengertian yang hampir
sama dengan idle cash namun cash float mengendap di bank yang berkaitan dengan
pelaksanaan penerimaan atau pengeluaran sehingga kecenderungan mengendap hanya
dalam waktu yang singkat atau harian.
Seperti
yang kita ketahui, kebijakan defisit APBN yang dianut Indonesia memerlukan
adanya pembiayaan defisit demi menyiasati mismatch antara penerimaan pajak
dengan pengeluaran negara terutama di awal tahun anggaran. Salah satu sumber
pembiayaan defisit yang selama ini cukup mengambil porsi penting adalah
pinjaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dalam hal ini, idle cash
yang ada dalam RKUN terbentuk karena kebijakan manajemen pengelolaan kas dan
kebijakan manajemen pengelolaan utang seringkali mengalami kendala-kendala yang
menyebabkan penyediaan dana pembiayaan melalui utang dan kebutuhan dana untuk
pengeluaran pemerintah tidak match pada bulan atau kuartal tertentu sehingga
ada kas berlebih dalam jumlah sangat besar yang menganggur di RKUN.
Idle
cash harian di Rekening Kas Umum Negara (RKUN) bisa mencapai ratusan triliunan
rupiah pada satu/kurun waktu tertentu. Sedangkan cash float harian di bank-bank
penerimaan maupun pengeluaran ditengarai mempunyai nominal yang juga tidak
sedikit meskipun masih sulit untuk diketahui secara pasti jumlahnya mengingat
penertiban rekening-rekening pemerintah masih terus dilakukan secara intens
oleh Kementerian Keuangan sampai saat ini. Besarnya nominal idle cash yang
terdapat di RKUN ini berbanding lurus dengan financial cost yang harus
ditanggung pemerintah. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, sebagian besar
idle cash tersebut berasal dari sumber pembiayaan utang baik luar negeri maupun
dalam negeri sehingga ada bunga dan beberapa financial cost yang harus tetap
ditanggung meskipun dana dari pinjaman tersebut belum digunakan.
Pemanfaatan
Idle Cash dan Cash Float melalui Treasury Dealing Room (TDR)
Besarnya
nominal idle cash dan cash float dan terbukanya peluang besar untuk
berinvestasi jangka pendek maupun panjang di pasar keuangan Indonesia yang
diprediksi masih akan terus tumbuh dalam beberapa tahun ke depan tentu menjadi
suatu hal yang patut dicermati lebih lanjut kemungkinan-kemungkinannya terutama
dalam hal pemanfaatan idle cash dan cash float. Apalagi return dari pasar modal
dinilai lebih menjanjikan dibanding return yang diberikan BI selama ini,
meskipun harus diakui bahwa peluang tersebut juga diikuti dengan resiko yang
sepadan, high risk high return.
Merupakan
suatu inisiatif cerdas yang cukup berani dan beresiko bagi Kementerian
Keuangan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perbendaharaan, untuk memutuskan
ambil bagian lebih luas di pasar keuangan Indonesia dengan berperan sebagai
investor ataupun trader. Mengakomodasi peluang tersebut, Kementerian Keuangan
melalui Direktorat Jenderal Perbendaharaan membentuk Treasury Dealing Room
(TDR). Bapak Rudy Widodo, Direktur Pengelolaan Kas Negara Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Kementerian Keuangan, dalam penjelasan beliau yang dikutip media
online Kompas, mengatakan bahwa kas negara yang dikelola Kemenkeu melalui
Treasury Dealing Room ini akan ditempatkan pada portofolio pasar keuangan
antara lain di pasar uang, pasar obligasi, serta repo dan reverse repo.
Lebih
lanjut beliau menjelaskan bahwa sebelum Treasury Dealing Room beroperasi,
Kementerian Keuangan akan berdiskusi lebih dulu dengan BI. Pembicaraan itu
mencakup koordinasi dengan BI, yang berperan dalam stabilisasi moneter.
Kemenkeu dalam hal ini perlu masukan dan rekomendasi dari BI, misalnya mengenai
jumlah kas yang tepat dikelola melalui TDR agar justru tidak mengganggu pasar.
Sedangkan dari segi teknis, persiapan pembentukan TDR pun sudah dilakukan dalam
bentuk pengadaan infrastruktur dan selesksi serta assesment sumber daya manusia
yang akan mengelolanya.
Satu
dari beberapa hal yang perlu dipersiapkan lebih lanjut adalah perihal payung
hukum dan SOP. Bukan hal baru bahwa dalam melaksanakan tugas-tugas
kepemerintahan, adanya kepastian hukum dan SOP yang jelas dan memadai tentu
mutlak diperlukan. Apalagi mengingat resiko dari pelaksanaan fungsi pengelolaan
kas negara (dalam hal ini idle cash dan cash float) melalui TDR yang cukup
besar, kebutuhan akan adanya payung hukum dan SOP yang memadai juga harus
semakin diperhatikan. Misalkan perihal bagaimana jika operator TDR melakukan
investasi/transaksi yang berbuntut kerugian negara karena terjadi loss, apakah
serta-merta kerugian negara tersebut dibebankan kepada operator tersebut atau
adakah mekanisme untuk mengkaji suatu kasus loss merupakan murni kesalahan
operator atau koreksi pasar dan sebab-sebab lain. Tentu saja untuk
masing-masing kemungkinan tersebut, batasan-batasan punishment harus ditentukan
secara bijak. Begitu pula dalam hal reward perlu diberikan untuk
operator-operator yang berhasil memberikan profit kepada negara sesuai dengan
porsi yang pas. Penyusunan payung hukum tersebut nantinya harus mampu mencakup
segala kompleksitas teknis dari karakteristik-karakteristik investasi di pasar
keuangan. Sehingga, pada nantinya jangan sampai negara dirugikan secara
keuangan melalui manipulasi-manipulasi yang kerap terjadi di pasar keuangan dan
di sisi lain bagaimana operator atau pihak-pihak dalam pengoperasian TDR juga
terlindungi dari segi hukum dan mendapat kelayakan reward. Kajian mengenai
payung hukum tersebut tentu akan semakin menarik untuk digali lebih jauh dalam
suatu kesempatan lain. Salam.
Penulis:
GUNAWAN
WIYOGO SISWANTORO
* PNS di Direktorat Jenderal Perbendaharaan-Kementerian Keuangan
*
Lulusan DIII-Kebendaharaan Negara STAN 2011
Referensi:
• Prasetyantoko, A. 2010. “Ponzi Ekonomi,
Prospek Indonesia di Tengah Instabilitas Global”. Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
• “Transaksi dan Indeks Saham di Bursa
Efek, 1994-2013.” www.bps.go.id/. 01 April
2013.<http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=13¬ab=15;
• “BI Rate dan Suku Bunga Kredit Rupiah
Menurut Kelompok Bank, 2002-2013.” www.bps.go.id/. 01 April 2013.
<http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek=13¬ab=16;
• Sulistyo, Hendy. “Perubahan, Refungsionalisasi Dan Harapan
DJPBN Ke Depan”. http://www.perbendaharaan.go.id. 3 Juli 2009. 30 Maret 2013.
<http://www.perbendaharaan.go.id/new/index.php?pilih=news&aksi=lihat&id=2222;
• Indriastuti, Dewi. “Kemenkeu Ingin
Kelola Sebagian Kas Negara.” http://nasional.kompas.com. 21 Februari 2013. 31
Maret 2013.
<http://nasional.kompas.com/read/2013/02/21/07502329/Kemenkeu.Ingin.Kelola.Sebagian.Kas.Negara;
• “BI Pertahankan Suku Bunga Acuan.”
http://www.bbc.co.uk. 5 Januari 2011. 01
April 2013.<http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/01/110104_birate.shtml;
Comments
Post a Comment