Andai (Cerpen)
Hari ini Jakarta resmi menjadi kota mati! Seakan
sebuah black hole ditaruh di pusat kota dan menelan habis setiap gram
denyut kota lengkap dengan segala energi kehidupan di dalamnya. Satu dua helai
daun meluruh malas ditiup angin melewati beberapa angkot dan bus yang teronggok
di tengah jalan. Tapi sungguh aku lebih suka Jakarta yang mati. Seperti saat
ini.
*****
“Dengar! Aku tidak suka dikencingin!!!”
“Phufft, aku kira tidak ada satu pun yang suka.”
“Setidaknya dia bisa membersihkan bekasnya.”
“Jangan harap, norma sudah lama mati”
“Ingin rasanya aku tendang pas di kemaluannya!!”
“Haha, sebaiknya jangan, pasti modar itu
orang”
“Pokoknya aku tidak bisa terima, Eko-. Selain itu,
kau ingat kapan terakhir kali lokomotif kita diservis? Aku kira itu beberapa
tahun yang lalu. Ingat teman kita, si Ekonomi Jurusan Bogor-Jakarta Kota yang
dibakar supporter bola kemarin hari gara-gara dia ngadat di tengah jalan raya
yang sedang padat. Aku tau dia mempunyai masalah di lokomotifnya yang sudah
tua. Oh, jangan berusaha membantahku. Dia sendiri sering mengeluh padaku
sehabis seharian disiksa jadwal, penumpang dan bos kita.”
“Aku tidak berusaha membantahmu kawan. Aku cuma mau
bilang kita semua mempunyai nasib yang hampir sama di sini. Sudah, sudah.
Waktunya kerja dan ingat… Jangan mencelakai orang. Setidaknya kau lebih
bermartabat ketimbang aku. Gerbongmu ber-AC, kau tak pernah merasakan membawa
penumpang 2 kali batas maksimalmu kan? Syukuri itu, fellas.”
“Entahlah, aku sudah cukup muak. Oke oke baik, aku
tidak akan bertingkah, jadi tolong singkirkan wajah cemberutmu itu”
“Hehe, kau memang lucu”
*****
Nafasku tersisa separuh saat seorang petugas loket
kereta api menguap lebar pagi itu. Ketololanku bermalas-malasan di tempat tidur
10 menit lebih lama di pagi hari tadi terbayar sudah dengan sederet macet yang
menghadangku. Belum genap pukul setengah tujuh dan aku sudah harus berjibaku
tergopoh-gopoh jika tidak ingin gajiku yang kecil tersunat karena telat masuk
kantor. Beruntung kereta lokal tujuan Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat
(stasiun terdekat dengan kantorku) yang menjadi langgananku 5 tahun terakhir
belum berangkat meskipun penumpang di dalamnya sudah dalam kondisi yang sangat
tidak manusiawi. Berjubel, berdesakan sampai hampir tumpah ruah di dekat pintu
masuk gerbong. Yah untuk dua ribu perak itulah layanan terbaik yang bisa kau
dapatkan. Puluhan juta pekerja dengan bermacam profesi di kawasan Jabodetabek
ini memang sudah sangat bergantung dengan keberadaan angkutan kereta lokal
meskipun harus berimpitan satu sama lain seperti sekarang. Sebenarnya ada
alternatif lain untuk hal ini. Kereta lokal express atau kereta lokal ekonomi
AC yang jauh lebih longgar, nyaman, cepat, tepat waktu dan mahal tentu saja.
Tarifnya yang sedikit menguras kocek membuatku berpikir dua kali menimbang
kebutuhan bulanan versus gajiku yang sering minus.
*****
Ibu Ratih masih memegang pisau dapur saat
mengangkat telepon rumahnya yang berdering. Sebuah deringan yang akan merusak
pagi indahnya.
“Selamat pagi, apa benar ini kediaman Bapak Wiliam
Sujatmiko?
“Selamat pagi, iya benar sekali.
“dengan ibu siapa saya berbicara?”
“Saya Ibu Ratih, istri beliau. Mohon maaf, Pak.
Suami saya sudah berangkat kerja sekitar 20 menit yang lalu.”
“Sebenarnya bukan itu maksud dan tujuan saya
menelpon Ibu. Sedikit sulit untuk mengatakannya”
“Maaf, saya tidak mengerti maksud Bapak”
“Mmmhh, suami Anda mengalami kecelakaan lalu lintas
di Jalan Sudirman dan sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit”
“Apa???!!!! Bagaimana keadaan suami saya, Pak??!!
Saya harus segera kesana, tolong berikan alamat rumah sakitnya!!”
“Iya Bu, tapi saya minta Ibu menenangkan diri. Kita
doakan yang terbaik untuk suami Ibu. Ibu sekarang langsung ke Rumah Sakit
Fatmawati”
*Klik*.
Ibu Ratih merasakan degup jantungnya berlarian
sepanjang jalan. Mulutnya yang mungil tak henti merapal sesuatu, entah itu doa,
entah gugup. Rumah Sakit Fatmawati memang hanya berjarak 5 km dari rumahnya,
namun kali ini perjalanan 20 menit menuju tempat itu terasa seperti perjalanan
melewati dimensi lain, terasa berjam-jam bagi Bu Ratih. Sesampainya di rumah
sakit, hentakan di jantungnya makin mengejar kala beliau tiba di rumah sakit
yang dimaksud penelpon tadi. Bagaimana bisa itu terjadi, suaminya tidak ada di
rumah sakit yang disebutkan tadi dan tidak ketahuan rimbanya. Untung dia sempat
menyimpan nomor penelpon tadi.
“Pak, suami saya dimana??!! Saya sudah di rumah
sakit tapi tidak ada pasien dengan nama suami saya. Jangan macam-macam ya, Anda
bisa saya laporkan polisi kalau berniat jahat pada suami saya”
“Ibu, ibu tenang dulu. Saya bukan penjahat, saya
ini pegawai di Rumah Sakit Fatmawati dan saya sama sekali tidak berniat jahat
kepada siapapun. Suami ibu dan saya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit,
kami sedang di dalam ambulans namun macet sangat parah disini Bu.”
“Tt..tolong suami s..saya, Pak”
“Pasti Bu, kami upayakan yang terbaik untuk suami
Ibu, tolong Ibu bantu dengan doa dan keikhlasan”
Ibu Ratih sudah dalam kondisi setengah pingsan saat
ambulans itu datang 3 jam setelah percakapan terakhir dengan petugas rumah
sakit yang menolong suaminya. Yah, 3 jam dalam perjalanan yang membuat suaminya
kehabisan banyak darah dan meninggal di tengah kerumunan macet Jakarta. Tak
perlu ditanya bagaimana kondisi Ibu Ratih yang seketika itu histeris dan
terjatuh lemas, pingsan. Butuh beberapa jam hingga beliau siuman dan pingsan
lagi setelah ditemani petugas rumah sakit yang tadi. Beberapa kata yang sempat
didengarnya bahwa suaminya terjatuh setelah bersenggolan dengan sesama
pengemudi motor yang melaju meliuk-liuk di kerumunan macet pagi itu di bilangan
Jalan Sudirman.
*****
Oke, kantorku memang tergolong dekat dilihat
jaraknya hanya sekitar 25 km dari kostku. Hanya dibutuhkan kurang dari setengah
jam kalau ditempuh dengan motor tua bebek tahun ’70-an yang kecepatan
maksimalnya hanya 70 km/jam seperti yang aku pakai setiap hari. Namun itu jika
Jakarta dalam keadaan ‘tidak normal’ alias keadaan hari Minggu atau keadaan
hari libur nasional atau dalam bahasa yang lebih mudah dikatakan, TIDAK MACET.
Jadi dalam keadaan Jakarta ‘normal’ perjalananku ke kantor memakan waktu tak
kurang dari 2 jam penuh bahkan sering lebih lama. Wow! Artinya setiap hari aku
harus bangun sangat pagi bahkan sebelum matahari mengucek matanya. Tapi
sebenarnya apa yang membuatku muak bukan mengenai lama perjalanan itu.
Berlama-lama di tengah kemacetan membuatku merasa sangat tidak berguna. Bahkan
aku percaya emosiku yang tidak stabil dan kecerdasan otak yang menurun
disebabkan karena seseorang terlalu lama disekap kemacetan. Yah, aku percaya
itu terjadi padaku di hari-hari pertama aku masuk kantor. Beruntungnya 1 km dari
tempat kostku ada stasiun kecil dan ada kereta lokal tujuan Stasiun Pasar Senen
yang singgah di stasiun kecil itu setiap 1 jam sekali. Kantorku pun bisa
dijangkau dengan jalan kaki 10 menit dari Stasiun Pasar Senen itu. Ya bisa
dibilang solusi yang menyelamatkan hidupku beberapa bulan terakhir.
Namun pagi itu aku cukup malas untuk bangun.
Alhasil berangkat ke kantor hanya dengan cuci muka dan gosok gigi. Nanti aku
mandi di kantor saja, begitu pikirku. Motor tua itu pun ku geber habis-habisan
menuju stasiun untuk mengejar kereta lokal langgananku. Sial memang kalau
prinsip semesta bahwa malas hanya mendatangkan masalah memang benar adanya.
Macet pun tidak mau berkompromi. Jurus terakhir, gigi persneling motor aku
oper, gas motor dan rem bergantian aku permainkan, meliuk-liuk di tengah
keramaian Jakarta pagi. Ah, cukup berhasil. Stasiun hanya terpisah 1 belokan
depan. Sekali lagi aku berkelit sana sini dan kemudian tanpa sengaja stang
motorku menyenggol seorang pengendara motor lainnya. Sempat kulirik dia oleng
ke kiri dan di saat bersamaan sebuah bis lokal Jakarta menyerobot celah sempit
di samping pengendara tadi. Kelihatannya dia terhantam badan bus tadi. Mungkin
sedikit parah lukanya. Beberapa detik aku sudah mengerem motorku namun kemudian
aku geber kembali. Aku pikir pasti nanti dia ditolong warga sekitar. Susah
untuk berbelok putar arah di tengah kerumunan onggokan besi-besi bermesin yang
meraung-raung ini. Selain itu aku tak mau terlambat. Semoga lukanya tidak
terlalu parah.
*****
“Bah, macam mana pula itu kereta. Seenaknya jidat
dia berhenti di situ. Kita mana bisa lewat kalo begini caranya. Anak istriku
makan apa kereta tolol !!”
“Sabar atuh bang, kan emang dimana-mana kalo kereta
mau lewat yang lain ya kudu berhenti”
“Tak usah kau bilang aku pun tau kalo macam itu.
Yang awak maksud, lihat itu, lihat! Kenapa kereta tolol itu berhenti di tengah
jalan macam begitu, palang pintu pun tak akan terbuka lah kalo kereta belum
jalan. Itu kereta mogok tau ! Ah tolol pula kau ini !”
“Mana aku tahu bang itu kereta mogok atau nggak.
Saha atuh yang peduli?”
“Kalo kereta itu sering mogok seperti sekarang,
waktu jadi terbuang, penumpang kurang, kita ngejar setoran juga seret. Mikir
dikit lah kau ini !! Lagian sudah beberapa bulan ini kereta-kereta di Jakarta
sering mogok, dimana-mana mogok. Baca berita di televisi lah kau ini biar ga
tolol-tolol amat.”
“Ah, kumaha sia wae lah, anying! Tuh udah jalan
itu, kebuka tuh palang pintunya. Ayo buruan bang, jangan ngomel mulu.”
“Aaaaah, apapula awak bilang, susah kan. Pekara
kereta usai, macet pun datang. Kapan awak kaya kalo gini, kalo kejar setoran
aja susah, hah?”
“Berisik terus sih bang, tuh ada ruang kosong tuh
sebelah kanan, ambil bang! ambil! seroboott!”
“Iya, tau. Jangan macam istriku pula kau ini,
ngomel tak henti-henti”
“Bang! liat kanan bang! awaassss!!
*Braakkk!!!!!!*
*****
“Oke, kawan, kita semua tahu bagaimana perlakuan
mereka terhadap kita. Kita memang seonggok besi bermesin bagi mereka, tapi
tidakkah mereka belajar merawat dan menjaga hal-hal yang setidaknya menolong
mereka? berguna bagi mereka? Aku ingin sedikit mengajarkan pada mereka 1 hal
tentang itu. Besok aku dan teman-teman yang lain akan mogok total di semua
trayek, jadwal, dan stasiun.”
“Ayolah kawan, jangan sesinis itu. Mungkin efeknya
sedikit terasa jika seluruh teman-temanmu mogok. Aku yakin mereka akan segera
beralih ke yang lain dan melupakan perihal kau mogok dan sebagainya. Mereka
akan tetap seperti itu, mati rasa dan satu lagi, jujur aku dan teman-temanku
yang lain pasti tidak suka mendapat limpahan penumpang darimu dan
teman-temanmu. Beban kami sudah cukup berat.”
“Kau selalu cerdas kawan, aku pun memikirkan hal
serupa. Kalo hanya aku dan teman-temanku yang mogok, mereka hanya menganggap
masalah ini sekilas saja. Tidak akan pernah sadar dan karena itulah aku sudah
berbicara dengan beberapa angkot dan bajaj kenalanku yang cukup senior. Mereka
setuju dan berjanji akan memimpin yang lain untuk melakukan hal serupa.”
“Lalu?”
“Aku memintamu dan teman-temanmu untuk bergabung
besok. Kita mogok bersama. Kita jadikan Jakarta kota mati meskipun mungkin
hanya beberapa hari.”
“Setelah itu?”
“Ya, kita berharap mereka mau memperhatikan sedikit
nasib kita, sedikitnya tidak membiarkan terseok-seok. Kau dan kawan-kawanmu pun
bisa merasakan hawa AC dan parfum di bangku-bangku penumpangmu kalo beruntung.
Setidaknya pinggangmu tak akan ngilu saat digeber kalo suspensimu itu diganti.
Aku hanya ingin nasib kita semua lebih beradab kawan.”
“Yah…..mungkin aku bisa membicarakannya dengan
teman-temanku setelah ini”
“Bagus, aku tau kau memang bisa diandalkan. Oh ya,
hampir kelupaan bagian terbaik dari rencana kita. Kau tahu mobil-mobil dan
motor-motor pribadi yang sering congkak selama ini? Kita akan balas
mereka. Besok kita akan mogok, tapi bukan di sembarang tempat. Aku sudah
membaginya. Aku dan teman-temanku akan mogok di hampir setiap perpotongan jalan
raya dan rel kereta api. Angkot dan bajaj yang jumlahnya luar biasa akan mogok
di setiap pintu masuk-keluar perumahan elit, minimal berjajar 2-3 angkot atau
bajaj. Sisanya akan memblokir ruas jalan dan persimpangan yang cukup vital.
Lalu kau beserta teman-temanmu akan mogok malang melintang di setiap pintu
masuk ataupun pintu keluar tol. Kita buat mereka mengenang hari itu.”
“W.w..wo..w. Kau brilian.”
*****
Aku terengah-engah saat bangun pagi ini. Mimpi yang
cukup aneh. Aku bermimpi mengalami kejadian yang sama persis seperti yang aku
alami pagi kemarin saat berangkat kerja. Bersepeda motor meliuk-liuk kemudian
menyenggol pengendara motor. Sama persis, namun yang membuat bulu kudukku masih
meremang sampai sekarang, di dalam mimpiku pengendara motor yang ternyata
seorang bapak berumur 45 tahunan itu meninggal di TKP. Berdarah-darah kepalanya
ditutupi daun pisang ala kadarnya. Aku dalam mimpi itu berhenti dan menoleh ke
mayat bapak itu saat diangkat ke mobil jenazah dan sekejap seakan nyawanya
ditiupkan kembali, mayat bapak itu bangun sekelebat. Menuding dan memandang
tajam ke arahku. Matanya yang semerah saga itu membuatku berteriak ketakutan
dan terbangun dengan keringat mengucur. Aku merasa bersalah meninggalkannya
kemarin, di tengah jalan.
Dan ternyata mimpiku tadi pagi bukan satu-satunya
hal teraneh yang aku alami hari ini. Keluar dari kost dengan motor tuaku, aku
dikejutkan dengan kerumunan orang-orang yang berusaha memindahkan bajaj dan
angkot yang secara ajaib berjajar menutupi pintu masuk-keluar gang. Entah
kemana sopirnya. Kulihat beberapa montir menyumpah serapah di kejauhan sambil
menendangi ban bus yang tampaknya juga mogok. Namun yang aneh bus itu mogok
tidak dalam posisi yang wajar. Bagaimana mungkin bus mogok dengan posisi tepat
melintang menutup akses jalan seakan posisi itu memang disengaja. Entahlah yang
aku tahu, hari ini aku tidak akan sampai di kantor tepat waktu. Atau mungkin
tidak sama sekali.
*****
Pengarang & Penulis Original :
G u n a w a n W i y o g o S i s w a n t o r o
Sudah lama saya pengen baca salah satu saja karya sampeyan.
ReplyDeleteDan alasan yang menghalangi saya sejak dulu itu ternyata bener-bener ada setelah saya membaca tulisan ini.
Yaitu, gue ga bisa konsen baca dan mencerna ceritanya karena mikirin kritik dan kekurangan apa yang ada dari sini.hahahaha
Jadi menulis saja lah dulu sana, semoga ada jalannya dari-Nya.
hahaha, terima kasih sudah sudi membaca. Kritik dan sarannya sangat saya tunggu :)
ReplyDelete