Sesunyi Senyuman, Sesenyap Harapan (Cerpen)

Sayup derik suara radio komunikasi tua itu berbunyi mengabarkan kereta yang akan mendekat memasuki stasiun. Seseorang lelaki tua berusia hampir 6 dasawarsa berseragam biru lengkap dengan sepatu pantofel yang hampir setua dirinya mengerjap bangun, Kepala Stasiun Soerdjono. Masih didera rasa kantuk siang, beliau mencoba meraih topi dinasnya. Ditiupnya peluit dengan ogah untuk menghalau 1-2 pedagang asongan yang tak sayang nyawa melompati rel-rel kereta padahal di kejauhan besi tua bermesin itu makin mendekat. Beberapa penumpang berwajah lusuh duduk menunggu. Entah kereta api atau nasib baik yang mereka tunggu kedatangannya. Seperti siang-siang lain, stasiun tua ini lengang.

Kereta memasuki rel jalur 1, jalur yang terdekat dekat bangunan stasiun. Pelan, ular besi itu menggeram berhenti. Hampir semua yang ada di stasiun ini berusia uzur, bahkan kereta ini pun seakan hampir tiba akhir hayatnya. Aku tetap menekuri remah-remah roti yang aku bawa dari rumah. Ya itulah rutinitasku di stasiun. Memberi makan burung-burung dara yang entah milik siapa. Mungkin burung-burung itu liar dan bebas. Ah itu lebih bagus.

Kemudian, awal dari semuanya pun dimulai. Selintas mata aku melihat sejenjang kaki indah itu turun dari kereta. Aih, aku bermimpi. Mana ada kaki seindah itu naik kereta yang penumpang-penumpangnya tak lebih dari pencopet, pengamen, pengemis, atau para kaum urban yang sudah aku ceritakan tadi, selalu setia menunggu, menunggu nasib baik. Namun kemustahilan itu semakin mentah saat siluet bidadari itu menampakkan wujudnya. Aku taksir usianya tak lebih dari 30 tahun. Kulitnya kuning langsat membalut semampai tubuhnya yang langsing dari ujung kaki hingga membalut sempurna wajahnya. Sempat munafik, namun akhirnya aku lirik pula dadanya, kecil proporsional, sangat anggun dipadukan dengan proporsi tubuhnya. Namun saat aku perhatikan lagi wajahnya, kepekatan kesedihan jelas tergurat disana. Aku lirik Pak Soerdjono, beliau gagap meniup peluit untuk memberangkatkan kembali kereta tua tadi. Tersenyum geli aku melihat tingkah bapak 3 jaman itu.

Esoknya, seperti hari yang lain, aku berpakaian rapi lengkap dengan sekantong remah-remah berangkat ke stasiun. Seperti yang pernah aku bilang, itulah rutinitasku. Lebih tepatnya itulah yang masih bisa aku lakukan setelah suaraku hilang. Ya hilang, hilang begitu saja. Aku masih ingat hari itu. Aku terbangun di pagi hari dengan keringat sebesar biji jagung di sekujur wajah dan tubuh. Aku bermimpi menyaksikan teman sejawatku meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Seorang teman terbaik yang sudah serupa senyawa seperti adik bagiku. Aku berteriak sejadi-jadinya di mimpi itu, berteriak sampai kering kerongkongan dan aku tetap berteriak. Aku baru terbangun saat ibu mengguncang-guncang tubuhku.

“Nja, Senja! Bangun nak, bangun! Kowe keno opo Le, istighfar Le, istighfaarr”

Ibuku meratap memanggil-manggil namaku, takut melihat gelagatku yang seperti orang ayan waktu itu. Aku terbangun dan terbatuk. Ibu bilang aku bertingkah aneh saat tidur. Berguling sana sini dan seperti berteriak tapi tanpa suara. Aku membuka mulut ingin menceritakan kengerian mimpiku, namun suaraku hilang! Aku mendelik. Aku masih belum percaya. Melompat dari kasur, ku tenggak 3 gelas air putih sekaligus. Kembali aku membuka mulut mencoba bicara kepada ibu, tetap tak ada satu suara pun keluar. Aku hanya seperti ikan megap-megap kekurangan air. Aku terisak sejadi-jadinya. Ibu menangis memelukku erat. Namun ternyata itu semua bukan sekedar tragedi pagi hari karena siangnya aku mendapat telepon dari kerabat di seberang pulau yang membawa kabar berita, teman terbaik yang sudah aku anggap seperti adik bagiku itu benar-benar mengalamai kecelakaan mobil dan meninggal! Ya Allah Ya Rabb, begitu berat semua ini dan aku kembali berteriak tanpa suara di sambungan telepon. Itulah awal dari 5 tahun kebisuanku.

Aku tidak bisa bekerja di instansi manapun. Tidak bisa pula melanjutkan kuliah di universitas atau perguruan tinggi manapun. Alasan mereka, orang bisu tidak bisa berorasi, berdebat, atau bersilat lidah karena saat ini kriteria itulah yang menjadi fokus di negeri ini. Dengar kawan, aku tidak akan memberitahumu nama negeriku ini. Terlalu riskan bagiku dan ibuku yang sudah tak lagi bersuami ini. Kadangkala aku merasa bersyukur dikaruniai kebisuan oleh Tuhan. Baiklah cukup, aku akan berangkat ke stasiun. Burung-burung dara itu pasti sudah sangat lapar.

Setelah menyapa dengan anggukan pada Pak Soerdjono dan beberapa pedagang asongan yang sudah akrab ku kenal semenjak rutinitasku ini ku lakukan, aku menuju bangku besar di pojok timur stasiun ini. Bangku ini dibentuk dari akar pohon yang berusia ratusan tahun aku taksir melihat ukurannya yang luar biasa besar. Bangku ini selalu kosong karena memang Pak Soerdjono sudah mengkhususkannya buatku. Beliau memang baik. Namun kali ini bangku itu sudah dihuni sesosok siluet yang aku jumpai tempo hari turun dari kereta. Bidadari berwajah sendu itu. Aku perhatikan guratan itu masih ada disana, di balik jernih hitam bola matanya. Dia menoleh menyadari kedatanganku, aku pun mengangguk canggung sambil berusaha ku sungging sebuah senyum manis yang aku rasa canggung pula jadinya. Dia tersenyum melihat gelagatku. Sedikit terurai ketegangan dalam hatiku. Ternyata dia juga datang untuk memberi makan burung-burung dara itu. Mungkin karena melihatku tempo hari sedang memberi makan burung dara disini dia jadi ketularan ingin melakukannya juga. Ah, kenapa aku jadi begitu pede?Tak tahulah, yang jelas aku suka dia ada di dekatku meskipun belum ada seucap kata terucap dari indah bibirnya yang tipis dan basah kemerahan. Kawan aku tahu kau pasti sudah berpikiran tentang bagaimana perasaanmu mengecup lembut bibirnya. Ah dasar, tapi tenang kawan, aku pun sudah berpikiran sama saat itu.

Sepanjang sore itu kami hanya duduk-duduk saja sambil melempar remah-remah roti, namun entah kenapa dia tak mau bicara. Apa mungkin dia tahu aku bisu sehingga dia berusaha menghormatiku dengan diam. Dan kemudian dia mulai menunjuk burung dara yang sedang asyik mematuk-matuk. Lalu dia menunjuk dirinya sendiri. Begitu berulang-ulang. Aku belum paham. Kemudian seperti terguncang lonceng besar, kesadaranku bangun. Dia berusaha memberitahu namanya padaku bahwa namanya adalah Dara dan terlebih lagi, ternyata dia bisu. Entah aku harus senang atau sedih namun satu hal yang aku dapat rasakan. Kami menjadi merasa lebih dekat satu dengan yang lain. Aku pun tak ragu atau malu memberitahukan kepadanya bahwa aku juga bisu. Ya dalam satu sore saja kami sudah seakan kenal bertahun-tahun sebelumnya. Kebetulan senja mulai datang, aku pun berusaha memberitahukan namaku kepadanya dengan cara yang hampir sama saat dia memberitahukan namanya. Dia menirukanku menunjuk senja kemudian menunjukku seakan memastikan bahwa apa benar namaku ‘Senja’. Aku mengangguk-angguk. Dia tersenyum dan aku tersenyum. Sore itu kami lalui dengan kantong remah yang kosong dan hati yang penuh, penuh dengan rasa damai yang sudah sangat lama tidak aku rasakan. Aku yakin dia pun merasakan hal yang sama karena sepanjang perjalanan pulang dari stasiun tangannya erat menggenggam jemariku. Damai dan luas rasanya.

Pagi ini berbeda. Sensasi ini pernah aku rasakan bertahun-tahun silam saat seragam putih abu-abu masih aku kenakan hampir tiap hari. Namun kali ini lebih kuat. Tarikannya lebih kuat ke dalam dan ke luar secara bersamaan. Aku tak mau pusing untuk mencernanya lebih jauh yang jelas aku kembali mempunyai alasan untuk menyambut pagi. Dara sekejap menjadi serupa ‘kompas’ dalam hidupku.

Dia sudah menungguku di bangku itu, persis seperti kemarin. Kali ini dia lebih sumringah menyambutku dengan senyuman khas bidadarinya. Tuhan aku mohon jangan lelehkan aku sekarang. Kantong remah-remah aku keluarkan dari tas pinggangku. Kami banyak berbicara kali ini, tentu saja melalui isyarat dan pandangan mata. Sungguh dalam kediaman, banyak hal yang dapat aku dan dia saling ceritakan dan bagikan. Kemudian tibalah saat itu, saat aku menanyakan penyebab dia menjadi bisu. Guratan itu nampak kembali, guratan yang aku temukan di wajahnya, di hari pertama kami bertemu. Di mulai bercerita melalui pandangan matanya. Dia membuat semacam isyarat dengan gerakan-gerakan jemari dan kerlingan matanya yang semakin sendu. Aku mengerti setiap isyarat yang dia berikan. Dia bercerita bahwa dia pernah mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa beberapa orang terkasihnya (dia membuat isyarat mendekap erat seseorang), aku rasa itu adalah orang tuanya. Dia beruntung karena dia selamat tanpa ada luka sedikitpun di tubuhnya. Tapi demi melihat orang terkasihnya itu meninggal di depan matanya, Dara menjerit sejadi-jadinya kala itu sampai pingsan dan saat dia siuman, dokter yang memeriksanya terkejut karena pita suara Dara sudah rusak. Dara divonis tidak bisa bicara ataupun mengeluarkan suara selamanya. Sesaat aku melihat diriku sendiri dalam cerita itu. Hal yang hampir sama persis aku alami terkait dengan datangnya kebisuan ini meskipun dalam versiku melalui mimpi. Tak tega aku melihatnya begitu rapuh. Aku beranikan diri mendekapnya, sungguh aku hanya membuatnya merasa lebih baik. Dalam dekapanku Dara terisak dan berguncang-guncang seakan meratapi kepergian yang paling berat yang pernah dia rasakan. Aku bisa merasakan kesedihannya.

Tiba-tiba dia bangkit. Masih terisak dia lari dan terus berlari. Bahkan dia lupa membawa kantong remah-remah rotinya. Dia terus berlari seakan ingin kabur dari kepahitan itu. Aku hanya bisa tertunduk lesu sepanjang perjalanan pulangku.
Esok paginya aku bergegas menuju stasiun meskipun remah-remah roti yang aku bawa hanya sedikit. Aku terburu-buru ingin bertemu Dara. Aku ingin melihat senyumnya dan lebih jauh aku ingin mendampinginya sepanjang sisa hidupnya. Aku tersenyum membayangkannya sepanjang jalan.

Setiba di stasiun, setengah berlari aku songsong bangku di pojok timur itu. Tak ada remah-remah roti, tak ada Dara, hanya ada burung-burung dara yang bergerombol di sekitar situ. Mungkin aku terlalu pagi, tak apa sebentar lagi dia datang, aku membatin. Rasanya lama sekali aku menunggu. Lalu samar di kejauhan aku melihat segerombolan orang sedang riuh mengerubuti sesuatu, seseorang lebih tepatnya. Penasaran, aku berdiri untuk melihat kehebohan apa yang terjadi. Aku melihat sesosok wanita, usianya tak lebih dari 30 tahun. Kulitnya kuning langsat membalut semampai tubuhnya yang langsing dari ujung kakinya yang indah hingga membalut sempurna wajahnya, dadanya kecil proporsional, anggun dipadukan dengan proporsi tubuhnya. Dia serupa bidadari. Aku mengenal sekaligus asing dengan wanita ini. Dia berbicara dan menjawab dengan riang setiap pertanyaan untuknya, sesembari membubuhkan tanda tangannya sambil melempar senyum kepada wartawan dan jurnalis di sekitarnya. Aku merangsek ke depan untuk memastikan dia melihatku. Dia Dara. Dia benar-benar Dara-ku. Sejenak kami bertatap muka, kemudian sambil tersenyum, cepat-cepat dia bubuhkan tanda tangan di saputangan yang kebetulan ku genggam waktu itu. Kepalaku mendadak pusing, duniaku berputar, aku terduduk lemas. Sedikit terseok, dengan tenaga yang masih tersisa, aku keluar dari kerumunan, kemudian berlari sekuatnya, aku menyongsong senja dan kereta api yang datang ke arahku. Akulah Senja.


Pengarang dan Penulis Original :
G u n a w a n   W i y o g o   S i s w a n t o r o

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)