Reuni Sesosok Gubuk Tua (Cerpen)
“Proklamasi! Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan Kemerdekaan Indonesia”
Pengarang dan Penulis Original :
G u n a w a n W i y o g o S i s w a n t o r o
*cerita ini dimuat dalam Smile Magazine (sebuah majalah sastra di Jogjakarta) edisi cetak II
“Proklamasi! Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan Kemerdekaan Indonesia”
Setiap malam Pak Tua itu selalu berucap dalam
bisik. Bisikannya pun selalu sama, cuplikan dari naskah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia. Bisikannya yang lirih entah karena tidak ingin didengar
orang lain atau karena dinginnya malam yang turun di gubuk reotnya di kolong
jembatan itu. Belum lagi jika hujan lebat mendera, bisikannya seolah tenggelam
ditelan riuhnya petir dan runtuhan air dari langit. Belum lagi ditambah gemuruh
atapnya yang berkeretak separuh jalan digoyang angin. Namun tak pernah
sekalipun beliau melewatkan malamnya tanpa mengucapkan cuplikan kalimat –
kalimat sakti itu. Seakan beliau berbicara pada dirinya sendiri, meyakini bahwa
kemerdekaan pasti datang pada dirinya. Nanti.
Bahkan ayam jantan pun belum bersiap
‘bertugas’ saat Pak Tua sudah mengemasi perlengkapan kerjanya. Sepotong ubi
bakar tumbuk dilahapnya cepat, minyak tanah tak ketulungan mahalnya. Sepotong
lagi dikantonginya. Segelas air buru-buru ditenggaksebelum berangkat.
Setidaknya ubi dan air tadi cukup baginya hingga siang nanti. Upah harian yang
diterima beliau memang tak cukup untuk sekedar membeli nasi. Paling hanya cukup
untuk ubi, sedikit garam-garaman dan kayu bakar yang mulai agak jarang dijual
di Jakarta. Itupun jika beruntung tidak dipalak preman di sekitar wilayah
gubuknya berdiri.
Pak Tua selalu tampil rapi. Rambutnya yang
sudah sempurna putih seluruhnya disisir meskipun tanpa bantuan minyak rambut.
Beliau hampir rutin mandi 2 kali sehari. Ada kalanya sumur air lagi kering
sehingga terpaksa beliau hanya membasuh muka di seadanya. Jumlah kerutan
diwajahnya setara dengan hari-hari berat yang dilaluinya dengan ikhlas. Di
usianya yang menginjak hampir genap tiga perempat abad, senyumnya selalu
mengembang kala bertemu sapa dengan orang-orang yang dijumpainya sepanjang
jalan menuju tempat kerja sambil menjinjing satu-satunya penyambung hidup
miliknya. Sapu tua. Lakon sebagai penyapu jalan itu sudah diemban hampir
seperlima usianya. Setidaknya dalam pikiran beliau lakon ini lebih pantas dan
mulia daripada lakon yang dijalani sebelumnya. Sebelum menjadi penyapu jalan,
Pak Tua kerap berkeliling kesana kemari, masuk kantor pemerintah satu dan yang
lainnya. Berjalan kaki membawa map lusuh yang hanya beliau dan Tuhan yang tahu
apa isinya. Satu hal yang selalu sama dari Pak Tua, beliau selalu membawa
senyum terkembang itu kala berpapasan dengan siapapun. Seolah beliau kenal
dengan semua orang. Senyumnya yang benar-benar tulus disertai sedikit anggukan
kepala yang santun tak urung selalu membuat orang lain latah tersenyum,
menganggukkan kepala meskipun kenal dengan Pak Tua pun tidak.
Kedatangan beliau pagi ini agak telat. Lalu
lalang kendaraan sudah ramai. Beliau kerap terlambat akhir-akhir ini. Kondisi
tubuhnya sudah sangat rapuh. Bahkan terkadang sehembus angin pun sanggup
merobohkan Pak Tua beserta sapunya sekalian. Setelah melapor kepada koordinator
lapangannya, beliau mulai memakai seragam kuningnya. Telaten saja beliau
menyiapkan sapunya dan mulai membersihkan trotoar jalan, srek...srek…srek.
Bersama seorang rekannya, Pak Tua mendapat tanggung jawab membersihkan Area 2
di daerah Bundaran HI mulai dari Hotel Grand Indonesia sampai di Kantor Kedubes
Jepang. Cukup luas. Sangat luas jika melihat kondisi Pak Tua. Keluasan hatinya
tak dapat dimengerti siapapun. Bahkan rekan kerja Pak Tua sering menghela napas
entah prihatin atau tak habis pikir dengan Pak Tua yang selalu tersenyum dengan
tulus, dengan tulus menampilkan 2 buah giginya yang masih tersisa.
Tepat 5 sore Pak Tua beranjak pulang. Beliau
selalu menyempatkan mandi selesai menyapu seharian. Mampir ke pasar tradisional
dekat gubuknya sudah menjadi kebiasaan sepulang dari bekerja. Sekedar membeli
ubi untuk persediaan esok hari dan kemudian kembali tertatih pulang. Sore itu
mendung menggelayut. Hujan rupanya akan berkunjung malam ini, pikir beliau.
Agak terburu beliau tertatih menuju gubuk
yang selama ini cukup setia mengayomi. Beberapa kain dan pakaian kumal yang
tadi pagi sempat dijemurnya diraup begitu saja kemudian dijejalkan di sebuah
kardus tempat pakaian. Satu-satunya penerangan di gubuk ini jika malam hari
datang adalah bohlam 5 watt berdebu yang aliran listriknya didapat dari warung
sebelah yang cukup baik hati membagi listriknya untuk Pak Tua, dengan iuran
bulanan tentunya. Kencing saja tidak gratis di sini.
Selepas isya’ hujan perlahan turun, sedikit
memberi ruang dan waktu bagi seisi Jakarta untuk berhenti. Berhenti berdenyut.
Pak Tua yang baru melipat sajadahnya segera bangkit mencari beberapa ember
plastik usang untuk sekedar menadah air yang lewat di sela tumpukan seng atap gubuknya.
Setelah semua ember plastik sudah habis terpakai, Pak Tua duduk di tumpukan
tikar dan kasur yang sudah hilang separuh kapuknya. Dari saku celana yang
bertambal di sana sini, dikeluarkannya sepotong foto hitam putih khas tahun
1950-an. Sekilas tampak deretan pria dengan helm perang dan senapan di tangan.
Mereka berbaris rapi dengan sedikit senyum disungging di wajah yang sudah penuh
coret cat-cat kamuflase khas tentara. Ditelusurinya foto itu dengan jemari
kurus kering penuh kerutan yang tak pernah berhenti bergetar. Senyumnya
mengembang dan setetes air terbentuk di ujung matanya yang sayup. Sesayup usia
dan tubuhnya. Memang tak banyak tahu kalau Pak Tua adalah pensiunan Tentara
Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun ketimbang disebut pensiunan, beliau lebih
tepat disebut jebolan Tentara Kemerdekaan Republik Indonesia karena beliau
tidak pernah mengenal apalagi menerima pensiunan, gaji, honor, tanda jasa,
gelar atau apalah namanya terkait jasanya.
Beliau adalah salah satu komandan pleton
waktu itu. Barisan tentara di foto itu adalah rekan-rekan satu pleton yang
dipimpinnya. Beliau berdiri paling ujung kanan di dalam foto. Salah satu
komandan penting. Beliau bahkan ikut serta mengawal Peristiwa Rengasdengklok
yang bisa dikatakan cikal bakal kemerdekaan negara ini. Namun sayang isu
keterlibatannya dengan partai komunis seakan membanting dan mengubur seluruh
jasanya. Padahal selama hidupnya kala itu yang dia kenal hanya 2 hal, Allah dan
negara ini. Namun tuduhan datang padanya selekat nyawa tanpa ada pembelaan atau
pengampunan. Dia dicekal di usia yang tergolong masih muda, belum genap 30
tahun waktu itu. Selama di pengasingan, penderitaan terpahit yang pernah
dialami manusia pernah Pak Tua rasakan. Hingga negara ini berganti rezim
penderitaan itu masih menyerangnya. Namanya tak pernah terpulihkan. Itulah
kenapa beliau tidak pernah mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya.
Beliau memutuskan membujang seumur hidup. Tak tega dia membayangkan penderitaan
istri dan anak-anaknya nanti. Terasingkan di tanah airnya sendiri.
Pernah sesekali beliau mencoba mengurus
haknya ke kantor-kantor pemerintah yang sekiranya dapat membantu dengan membawa
bukti-bukti keanggotaannya di pejuang kemerdekaan dulu namun selalu mentah di
urusan tuduhan keterlibatan dengan golongan komunis yang sampai kini tak pernah
dilakukannya. Lelah, beliau akhirnya tak pernah menunjukkan lagi berbagai tanda
jasa dan bukti keanggotaannya kepada siapapun juga. Baginya mengenang jauh
lebih berharga daripada sekedar pengakuan.
Ditelusurinya kembali foto itu dari ujung
kiri hingga ke kanan. Seluruh teman-teman seperjuangannya itu telah
mendahuluinya menemui Sang Pencipta. Air matanya mulai menderas sederas air
hujan yang mengguyur Jakarta malam itu. Mulai dibaringkan tubuhnya di tengah
redup malam yang tak mampu diusir bohlam 5 watt-nya. Menggumam lirih mulut Pak
Tua bait-bait Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sambil dipandanginya seragam
hijau lorengnya yang sudah kusam, usang dan berlubang, lengkap dengan segala
lencana penghargaan yang masih mengkilat. Tak pernah ditukarkan lencana-lencana
itu dengan uang meskipun beliau terancam mati kelaparan sekalipun, walaupun
beliau pun tahu, lencana itu tidak akan laku, tidak jika atas nama dirinya.
Bait-bait proklamasi masih terbisikkan, mengalun pelan, semakin pelan. Pelan.
Sayup. Serupa senandung, senandung perih. Semakin pelan beliau menggumam,
semakin erat potret tadi didekapnya. Mungkin beliau akan berhenti menggumamkan
bait proklamasi itu jika benar-benar sudah merasa merdeka. Nanti.
G u n a w a n W i y o g o S i s w a n t o r o
*cerita ini dimuat dalam Smile Magazine (sebuah majalah sastra di Jogjakarta) edisi cetak II
Bagus mas yang ini.. pantesan dipublish di majalah :)
ReplyDeletengintip blog e pean ah..
ReplyDelete