Sepotong Malam di Ujung Kota #00 (Sajak)

Sepanjang hal yang dapat aku ingat semesta bekerja dalam salah satu aturan mutlak.
Nol-nol.

Titik awal. Titik penciptaan. Segala permulaan dari segala sesuatu. Bukankah klausa itu yang mendasari setiap pencarian terbesar dari setiap generasi manusia?

Titik nol dan nol.

Absis dan ordinat.

Bigbang.

Adam dan Hawa.

Ruang kelas 1A.

Aku memilih tempat duduk tepat di tengah kelas. Pusat kelas, senaif dan semudah itu. Pusat semesta dan sejengkal meja barat laut terpaut pusat semestaku. Kamu. Lengkap dengan setiap detail acuh dan pongahmu.
Tak bisa menentukan siapa surya dan siapa Orion, siapa yang mengorbit siapa atau malah bersama-sama mengorbit pusat Bima Sakti, aku diam menopang dagu. Menghitung setiap kedip lentik sepasang mata tajam nan teduh itu.
Pedang. Sayap.

Aku tidak suka kembali ke nol-nol itu. Loopless. Betapa konyol ide kita menjalani semuanya hanya itu kembali ke titik permulaan dan harus melingkarinya lagi untuk kembali ke titik permulaan, lagi. Peaceless. Hopeless.
.....
Sepotong malam di ujung loteng, di genggaman eratnya. Setengah terpejam hangat nafasnya sempoyongan melingkari leherku. Hanya terbungkus selembar selimut panjang, berbagai teorema gugus bintang ludes dia dan aku ocehkan sedari tadi.
Clung!
Sebuah pesan masuk. Tertulis dari seorang teman, saudara.
“Segitiga adalah salah satu bentuk bidang dua tertutup paling konsisten dan kokoh dengan disparitas beban yang merata di setiap sisinya. Lebih konsisten dibandingkan dengan salah satu bentuk dua dimensi lainnya, lingkaran.”

Aku tersenyum membacanya. Terima kasih kawan, aku sudah terlalu lama terjebak dalam pusaran lingkaran ber-loopless itu.
Hopeless.



Gunawan Wiyogo Siswantoro

*(Satu dari 24 rangkaian draft Antologi 'Langit')







Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)