Sepotong Malam di Ujung Kota #03 (Sajak)

Langit berputar atau aku yang sedang memutar kepala mencoba tetap waras?
Beberapa jam aku putar mundur untuk mengais-ngais sedikit alasan.                  

Aku disana.
Kebingungan di tengah kerumunan yang menyemut. Sensasi dingin kota yang terkenal karena apelnya ini selalu aneh memarut-marut kulitku. Sedikit kenyamanan yang pahit bercampur kenangan naif.
Pudar.

Ku dapati diriku di berlarian kesana kemari antara toko bakery satu dan yang lain. Sial! Kapan sih semesta bisa mendukung tepat setiap inchi rencana kita? Selusin toko bakery dan tidak satupun aku dapati lilin berangka 2?
Kesadaranku masih berfragmen-fragmen. Remuk. Tapi lembut bibirmu sepenggal jam yang lalu masih tertinggal disini.

Kau mengecupku riang, tak pernah menyangka aku disana. Di depan pintumu dengan setumpuk kue yang gagal aku pertahankan bentuknya selama perjalanan memutari beberapa blok sebelum ku dapati alamatmu. Lunas.
Satu hal yang mustahil jika Tuhan tanpa selera ironi. Dalil Gibran yang berujar tentang pedang di balik sayap cinta. Namun jika cinta memang adalah tentang yang mampu membuatmu berdamai dengan kematian, bukankah ini sangat remeh?

Terseret di pusaran dingin Malang dan ini bukan tentangmu, tentangku ataupun tentangnya. Ini bahkan tak seharusnya disebut perasaan.

Ini cinta dan ini bukan cinta.

Aku pulang, dan mati sedasawarsa silam.




*(Satu dari 24 rangkaian draft Antologi 'Langit')





Gunawan W.S.


Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)