Sepotong Malam di Ujung Kota #04 (Sajak)
Adakah yang lebih mencengangkan dan mencandukan dari secuplik kota
yang berabad-abad berdiri kokoh
dengan segala kenangan-kenangan manis, berdarah, pilu dari masa lalu
yang terpahat kasat mata di setiap jengkal dinding,
akar-akar mati terbenam dalam tanah,
jalan-jalan tak bernama
di tengah malam?
Ada...
yang berabad-abad berdiri kokoh dengan segala kenangan-kenangan manis,
berdarah, pilu dari masa lalu yang terpahat kasat mata di setiap jengkal
dinding, akar-akar mati terbenam dalam tanah, jalan-jalan tak bernama di tengah
malam dikerudungi benang-benang gerimis kecil yang bergandengan dengan segadis
berjenjang leher seputih pualam yang dengan sangat manjanya memeluk sebelah
lenganku di sepanjang selusur jalanan tak bernama itu dan berpayung rimbunnya
daun beringin dan akasia yang rapat berpelukan. Mengenal-Nya dengan cara
seperti ini nampak lebih mudah, halus.
It makes sense.
Aku bahkan merasa waktu melambat dan berlari pada dimensi yang berbeda. Satu dan yang lain. Tidak bisakah aku ajak dia melompat ke salah satunya? sebelum nanti bias di pucuk cakrawala sana memeluk mereka semua dalam hangat dan lembutnya embun pagi?
Salvation, forgiveness.... pengampunan dan kedamaian.
Setiap nafas mungkin naif untuk mencari kedamaian dari Dia, tapi kapankah
setiap dari kita akan berdamai dengan dia yang ada di dalam kita masing-masing?
Aku mencintaimu Langit. Sama layaknya aku mencintai Senja.
Langit, Senja, langit, dan senja.
Langit...
Gunawan Wiyogo Siswantoro
*(Satu dari 24 rangkaian draft Antologi 'Langit')
Comments
Post a Comment