Untukmu, Sebuah Nagari (Sajak)

Nduk, akan aku ceritakan padamu satu hikayat.
Tentang sebentang nagari,
yang suatu waktu itu pernah aku janjikan padamu.
Sebentang nagari itu berbukit-bukit.
Dimana batu-batunya menulis dan menyimpan narasi sendiri,
atas setiap nama yang menjejak masanya.
....dan dari puncak bukit itu kita akan mengejar senja yang tampak kuning menyedihkan.
Haru sekaligus menentramkan sebelum hilang ditelan kokoh jajaran bukit yang lain.

Nagari itu berpulau-pulau,
dengan setiap tepiannya dibalut lautan nan teduh.
“Birukah lautnya? Indahkah lautnya?” Tuntaskan tanyamu nanti.
Kita akan menyeberang kesana dari satu pulau ke pulau yang satu, cukup dengan perahu kecil dan satu dayung untukku.
Tentu kamu akan menikmati perjalanan sepanjang aku mendayung,
menyapa dan melambai-lambaikan tangan pada nelayan-nelayan yang sedang sibuk riang menjejalkan tongkol-tongkol tangkapan ke dalam peti es.
Sementara sekumpulan camar berkaok-kaok enggan pulang ke sarangnya di pinggiran cakrawala.
Lalu bukitnya, ah tunggu sampai kamu lihat di balik bukit yang basah dirangkul embun pagi.
Padang ilalang yang seperti digelar sendiri oleh Penciptanya.
Kamu pasti segera akrab dengan penduduknya yang saban hari memanggul cangkul atau clurit menyebrang lereng sembari mengumbar senyum, mengucap sapa.

Kamu tentu masih ingat saat aku bawakan serumpun tulip
lengkap dengan pot plastiknya.
Disana akan aku hadiahkan sepetak tulip-tulip muda
agar bisa kamu sirami setiap hari.
Aku membelinya tepat setahun lalu kala kamu berangan kelak akan merawat kebun bungamu sendiri.
Tentu sengaja aku pilih sepetak kebun itu tepat di depan gubuk kecil kita yang kini separuh rampung.
Ah, aku kelepasan. Harusnya itu menjadi kado setahun pernikahan kita. Tak apa, toh nanti kamu bisa pura-pura kaget atau terharu, hahaha.

Nduk, sudah tidurkah kamu? Biarkan sekali lagi aku bermonolog untukmu yang masih jauh.
Mungkin di saat aku membayangkan kamu saat ini sedang berlari-lari denganku di bukit itu, kamu disana malah sedang asyik bercumbu denganku di tengah kebun tulip kita.
Samar aku berangan benang astral lamunanku bertaut dengan imajinasimu dan selanjutnya mengangankan setiap jengkal tanah kita, di nagari kita.

Gunawan Wiyogo Siswantoro
*teruntuk seorang Langit
(Satu dari 24 rangkaian draft Antologi 'Langit')


Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)