Indonesia-Korea Selatan: Saudara Kembar Pinang, Cermin Dibelah.

Un diavolo scaccia l’altro. A devil punishes another devil. Satu quotes yang diucapkan Vincenzo, tokoh utama dalam series Korea Selatan yang berjudul serupa, Vincenzo. Sebagian latar series ini memang diambil langsung di Negeri Pizza, Italia. Maka, beberapa quote yang tersaji praktis juga dalam bahasa Itali. Di series ini penonton juga akan dimanjakan oleh luwesnya Song Joong Ki (pemeran Vincenzo) cas-cis-cus berbicara dalam bahasa pizza dan pasta. Aksennya cukup khas secara pribadi, mengingat saya sendiri sama sekali tidak mahir dalam bahasa Itali. Krispi nan gurih sekaligus empuk-empuk keju rasanya melihat Song Joong Ki berkali-kali pamer keluwesannya bicara dalam bahasa itu. Yes, tasted like a godd*mn whole pizza.

Series 'Vincenzo' adalah salah satu bagian dari miles stones pencapaian industri seni peran asal Korea Selatan. Dunia peran sendiri juga menjadi salah satu penanda dominasi Korea Selatan dalam showbiz internasional. Sedangkan dalam bidang showbiz yang lain seperti seni pertunjukan musik (girlband, boyband), reality-show, Korea Selatan juga menjelma menjadi raksasa dengan dominansinya. Berbagai sektor pendukungnya seperti komestik, industri permak penampilan, fashion hingga iklan pun serta-merta merasakan gurihnya ketenaran showbiz Negeri Ginseng di mata dunia internasional.

Dominansi showbiz ini nyata kala kita melongok berapa size materiilnya. Ambil contoh Studio Dragon yang membidani dua series drama terlaris beberapa saat lalu, ‘Vincenzo’ dan ‘Mr. Queen’. Studio Dragon secara resmi mengumumkan pendapatan kuartal pertama di tahun 2021 sebesar 117,1 miliar won atau sekitar Rp 1,4 triliun. Lalu dari studio yang lain ada beberapa nama series dan fiilm drama seperti The King: Eternal Monarch, It's Okay to Not Be Okay, Descendant of The Sun, Goblin, Crash Landing on You, Parasite, Squid Game dan seterusnya. Saya tidak berani meneruskan daftar nama drama series/film yang lain. Daftarnya nanti menjadi terlalu panjang dan juga secara pribadi terlihat sangat kecanduan nantinya.

Data Pemerintah Korea Selatan menunjukkan ekspor industri konten mencapai 11,9 miliar dolar AS (sekitar Rp 170 triliun) pada 2020 dibandingkan dengan 10,25 miliar dolar AS (sekitar Rp 147 triliun) pada tahun sebelumnya. Serem nggak tuh. Eh, ngiler nggak tuh. Namun, sejatinya Korea Selatan tidak hanya maju dan kaya dari showbiz saja. Korea Selatan sebelumnya banyak ditopang sektor-sektor penyumbang cuan terbesar seperti industri manufaktur ekspor, elektronik, dan otomotif.

Hal yang mengesalkan hati sebenarnya bukan soal betapa pesat kemajuan Korea Selatan, tapi betapa lambat kita dibandingkan Korea Selatan yang seakan-akan seperti saudara kembar Indonesia. Saudara kembar bukan karena letaknya berdekatan secara geografis atau dekat secara rumpun leluhur tapi dari hari kelahiran.

Korea Selatan bernasib sama seperti Indonesia di masa Perang Dunia Kedua. Menjadi daerah jajahan Jepang. Selain letak geografis keduanya yang sangat berdekatan, Korea dan Jepang mempunyai historis panjang soal peperangan dan perebutan batas wilayah termasuk dengan Tiongkok kala itu. Bahkan di era Shogun Hideyoshi Toyotomi dan Shogun Ieyasu Tokugawa, agenda invasi Jepang ke Korea semakin memuncak. Hingga Korea berhasil memberikan perlawanan yang cukup sengit untuk membalikkan keadaan dalam kepemimpinan Admiral Yi Shun-Shin. Nama admiral yang sangat familiar bagi pecinta game moba Mobile Legends: Bang Bang.

Korea memang menjadi salah satu area pertempuran strategis dalam misi besar Jepang menginvasi Tiongkok saat itu. Konflik berkepanjangan ini sering disebut sebagai Perang Imjin. Tiongkok pun secara otomatis berkepentingan untuk menjaga Jepang tetap berada di luar Korea agar Jepang tidak leluasa menempatkan pangkalan militernya di perbatasan Tiongkok. Wait, what? Déjà vu?

Kita lompat lagi ke era yang lebih modern. Saat pengeboman Kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan dilanjutkan 3 hari setelah di Kota Nagasaki oleh Amerika Serikat, Jepang memang benar-benar mati langkah. Beberapa daerah jajahan mereka melihat celah sempit dan singkat untuk memerdekakan diri. Hasilnya Korea merdeka pada 15 Agustus 1945, Indonesia melakukannya 2 hari kemudian. Merdeka pada 17 Agustus 1945.

Sebagai tambahan informasi, peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki merupakan buntut panjang dari penyerangan Jepang ke Pearl Harbour.

Pasca merdeka, Korea mengalami berbagai pergolakan dan dinamika politik yang luar biasa. Rongrongan dari Jepang masih membayangi, perebutan kekuasaan antar unsur negara hingga perang saudara yang akhirnya membelah semenanjung Korea menjadi dua negara yang sangat bertolak belakang ideologinya. Korea Selatan yang liberal dengan sokongan Amerika Serikat dan Korea Utara yang kental aroma komunisnya dalam naungan Beruang Merah Uni Soviet dan Tirai Bambu Tiongkok. Ini berarti Korea Selatan juga masih semuda dan sehijau Indonesia dalam kancah internasional.

Mau tidak mau, kita kembali kepada pertanyaan yang sangat mendasar. Mengapa kita masih berjalan santai saat saudara kembar kita tadi ngebut. Jangan katakan karena kita kurang ambisius. Awalnya saya mempunyai pemikiran seperti itu. Bahwa suatu negara dapat berkembang dengan cepat karena di kanan dan kirinya ada negara yang sangat kompetitif dan agresif sehingga menuntut negara itu untuk terus berkembang agar tidak menjadi bulan-bulanan tetangganya tadi. Namun menjadi kurang relevan karena kita pun punya kompetitor bahkan pada level grup ‘arisan’ ASEAN. Singapura, Thailand, Malaysia, Brunei. Alih-alih bersaing ketat dengan mereka, sekarang kualitas perekonomian kita seakan berada pada satu peer dengan Vietnam atau Filipina malah.

Lalu apa? Menurut saya pribadi, satu titik balik ada pada kejadian reformasi/revolusi yang telah dilalui oleh masing-masing Korea Selatan dan  Indonesia. Reformasi Korea mungkin lebih tuntas atau saya pribadi menyebutnya Revolusi. Reformasi Indonesia? Setengah hati dan setengah jalan. Semangat perubahannya tidak tuntas terwujud dalam tata kelola bernegara setelahnya. Banyak kepentingan dan nuansa Orde Baru yang masih melekat. Imbasnya, kebobrokan yang lalu-lalu seakan hanya pindah meja dan ganti wajah saja. KKN pun nampaknya menjalar dalam skala yang lebih luas.

Korea Selatan sukses mengubur akar-akar korupsi dan mengendalikannya pada level yang sangat rendah dan minim. Indonesia? Bansos sudah lama jadi bancak’an. Pengadaan kitab suci pun dikorupsi, mau apa klean hah?

Selain itu, Korea Selatan bersikap jelas dan crystal clear dalam memegang ideologi ekonomi liberalnya dan benar-benar berlaku layaknya liberalis dalam membangun perekonomiannya. Kita punya sistem ideologi yang lebih bagus daripada itu. Baik secara politik maupun sudut pandang perekonomian yaitu Pancasila. Sayangnya, banyak yang lebih bengis dan rakus daripada liberalis sekalipun. Bukan Pancasila-nya yang keliru. Kita-kita yang sangat mungkin gagal meresapinya.

Saya rasa satu kutipan quote dari Vincenzo dapat menutup tulisan ini dengan cukup sempurna. Sayup-sayup saya mendengar kata batin, “Tapi orang Korea kan banyak yang atheis?”.

Saya sudah berniat menjawab monolog barusan dengan balasan seperti ini,

“Iya tapi kelakuan kita-kita yang beragama ini nampaknya malah jauh lebih rakus dan gila daripada para atheis itu. Mungkin cara kita yang salah dalam beragama. Bukan agamanya yang salah. Jadi beragama secara benar tetap lebih baik daripada menjadi atheis.”.

Tapi nggak jadi saya jawab gitu deh. Biar bermonolog aja doi di dalam sana.

Baiklah. Here it is.

“Do you know what only the evil I can’t condone is? Hypocrisy. When a hypocrite repents, even that is a lie.”

-Vincenzo-

 

Gunawan Wiyogo Siswantoro


Tangerang, 3 Maret 2022

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)