Indonesia-Korea Selatan: Saudara Kembar Pinang, Cermin Dibelah.
Series
'Vincenzo' adalah salah satu bagian dari miles stones pencapaian industri seni
peran asal Korea Selatan. Dunia peran sendiri juga menjadi salah satu penanda
dominasi Korea Selatan dalam showbiz internasional. Sedangkan dalam bidang
showbiz yang lain seperti seni pertunjukan musik (girlband, boyband), reality-show,
Korea Selatan juga menjelma menjadi raksasa dengan dominansinya. Berbagai sektor
pendukungnya seperti komestik, industri permak penampilan, fashion hingga iklan
pun serta-merta merasakan gurihnya ketenaran showbiz Negeri Ginseng di
mata dunia internasional.
Dominansi
showbiz ini nyata kala kita melongok berapa size materiilnya. Ambil
contoh Studio Dragon yang membidani dua series drama terlaris beberapa saat
lalu, ‘Vincenzo’ dan ‘Mr. Queen’. Studio Dragon secara resmi mengumumkan
pendapatan kuartal pertama di tahun 2021 sebesar 117,1 miliar won atau sekitar
Rp 1,4 triliun. Lalu dari studio yang lain ada beberapa nama series dan fiilm drama seperti The King: Eternal Monarch, It's Okay to Not Be Okay, Descendant of
The Sun, Goblin, Crash Landing on You, Parasite, Squid Game dan seterusnya. Saya tidak berani
meneruskan daftar nama drama series/film yang lain. Daftarnya nanti menjadi terlalu
panjang dan juga secara pribadi terlihat sangat kecanduan nantinya.
Data
Pemerintah Korea Selatan menunjukkan ekspor industri konten mencapai 11,9
miliar dolar AS (sekitar Rp 170 triliun) pada 2020 dibandingkan dengan 10,25
miliar dolar AS (sekitar Rp 147 triliun) pada tahun sebelumnya. Serem nggak
tuh. Eh, ngiler nggak tuh. Namun, sejatinya Korea Selatan tidak hanya
maju dan kaya dari showbiz saja. Korea Selatan sebelumnya banyak
ditopang sektor-sektor penyumbang cuan terbesar seperti industri manufaktur
ekspor, elektronik, dan otomotif.
Hal
yang mengesalkan hati sebenarnya bukan soal betapa pesat kemajuan Korea
Selatan, tapi betapa lambat kita dibandingkan Korea Selatan yang seakan-akan seperti
saudara kembar Indonesia. Saudara kembar bukan karena letaknya berdekatan secara geografis atau dekat secara rumpun leluhur
tapi dari hari kelahiran.
Korea
Selatan bernasib sama seperti Indonesia di masa Perang Dunia Kedua. Menjadi
daerah jajahan Jepang. Selain letak geografis keduanya yang sangat berdekatan,
Korea dan Jepang mempunyai historis panjang soal peperangan dan perebutan batas
wilayah termasuk dengan Tiongkok kala itu. Bahkan di era Shogun Hideyoshi
Toyotomi dan Shogun Ieyasu Tokugawa, agenda invasi Jepang ke Korea semakin
memuncak. Hingga Korea berhasil memberikan perlawanan yang cukup sengit
untuk membalikkan keadaan dalam kepemimpinan Admiral Yi Shun-Shin. Nama admiral yang
sangat familiar bagi pecinta game moba Mobile Legends: Bang Bang.
Korea
memang menjadi salah satu area pertempuran strategis dalam misi besar Jepang
menginvasi Tiongkok saat itu. Konflik berkepanjangan ini sering disebut sebagai
Perang Imjin. Tiongkok pun secara otomatis berkepentingan untuk menjaga Jepang tetap
berada di luar Korea agar Jepang tidak leluasa menempatkan pangkalan militernya
di perbatasan Tiongkok. Wait, what? Déjà vu?
Kita
lompat lagi ke era yang lebih modern. Saat pengeboman Kota Hiroshima pada
tanggal 6 Agustus 1945 dan dilanjutkan 3 hari setelah di Kota Nagasaki oleh
Amerika Serikat, Jepang memang benar-benar mati langkah. Beberapa daerah
jajahan mereka melihat celah sempit dan singkat untuk memerdekakan diri.
Hasilnya Korea merdeka pada 15 Agustus 1945, Indonesia melakukannya 2 hari
kemudian. Merdeka pada 17 Agustus 1945.
Sebagai
tambahan informasi, peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki merupakan
buntut panjang dari penyerangan Jepang ke Pearl Harbour.
Pasca
merdeka, Korea mengalami berbagai pergolakan dan dinamika politik yang luar
biasa. Rongrongan dari Jepang masih membayangi, perebutan kekuasaan antar unsur
negara hingga perang saudara yang akhirnya membelah semenanjung Korea menjadi
dua negara yang sangat bertolak belakang ideologinya. Korea Selatan yang
liberal dengan sokongan Amerika Serikat dan Korea Utara yang kental aroma
komunisnya dalam naungan Beruang Merah Uni Soviet dan Tirai Bambu Tiongkok. Ini
berarti Korea Selatan juga masih semuda dan sehijau Indonesia dalam kancah
internasional.
Mau
tidak mau, kita kembali kepada pertanyaan yang sangat mendasar. Mengapa kita masih
berjalan santai saat saudara kembar kita tadi ngebut. Jangan katakan
karena kita kurang ambisius. Awalnya saya mempunyai pemikiran seperti itu.
Bahwa suatu negara dapat berkembang dengan cepat karena di kanan dan kirinya
ada negara yang sangat kompetitif dan agresif sehingga menuntut negara itu untuk
terus berkembang agar tidak menjadi bulan-bulanan tetangganya tadi. Namun
menjadi kurang relevan karena kita pun punya kompetitor bahkan pada level grup
‘arisan’ ASEAN. Singapura, Thailand, Malaysia, Brunei. Alih-alih bersaing ketat
dengan mereka, sekarang kualitas perekonomian kita seakan berada pada satu peer
dengan Vietnam atau Filipina malah.
Lalu
apa? Menurut saya pribadi, satu titik balik ada pada kejadian
reformasi/revolusi yang telah dilalui oleh masing-masing Korea Selatan dan Indonesia. Reformasi Korea mungkin lebih
tuntas atau saya pribadi menyebutnya Revolusi. Reformasi Indonesia? Setengah
hati dan setengah jalan. Semangat perubahannya tidak tuntas terwujud dalam tata
kelola bernegara setelahnya. Banyak kepentingan dan nuansa Orde Baru yang masih
melekat. Imbasnya, kebobrokan yang lalu-lalu seakan hanya pindah meja dan ganti
wajah saja. KKN pun nampaknya menjalar dalam skala yang lebih luas.
Korea
Selatan sukses mengubur akar-akar korupsi dan mengendalikannya pada level yang
sangat rendah dan minim. Indonesia? Bansos sudah lama jadi bancak’an. Pengadaan
kitab suci pun dikorupsi, mau apa klean hah?
Selain
itu, Korea Selatan bersikap jelas dan crystal clear dalam memegang ideologi
ekonomi liberalnya dan benar-benar berlaku layaknya liberalis dalam membangun
perekonomiannya. Kita punya sistem ideologi yang lebih bagus daripada itu. Baik
secara politik maupun sudut pandang perekonomian yaitu Pancasila. Sayangnya,
banyak yang lebih bengis dan rakus daripada liberalis sekalipun. Bukan Pancasila-nya
yang keliru. Kita-kita yang sangat mungkin gagal meresapinya.
Saya
rasa satu kutipan quote dari Vincenzo dapat menutup tulisan ini dengan cukup
sempurna. Sayup-sayup saya mendengar kata batin, “Tapi orang Korea kan
banyak yang atheis?”.
Saya
sudah berniat menjawab monolog barusan dengan balasan seperti ini,
“Iya
tapi kelakuan kita-kita yang beragama ini nampaknya malah jauh lebih rakus dan
gila daripada para atheis itu. Mungkin cara kita yang salah dalam beragama.
Bukan agamanya yang salah. Jadi beragama secara benar tetap lebih baik daripada
menjadi atheis.”.
Tapi
nggak jadi saya jawab gitu deh. Biar bermonolog aja doi di dalam
sana.
Baiklah.
Here it is.
“Do
you know what only the evil I can’t condone is? Hypocrisy. When a hypocrite
repents, even that is a lie.”
-Vincenzo-
Comments
Post a Comment