Daun-Daun Hujan (Sajak)

I
Sembah sujud sungkur seakan mengakar pada hening malam yang mengelam.
Gemericik doa pun masih mengurai rinai.
Teruntukmu langit,
yang berbalut gerimis,
yang meremahkan sabda-sabda cinta-Nya.
Adakah subuh ini kalut astral kita berbagi lakon,
bercerita di balik selempang layar lalu mewayangkan masing-masing rindu kita?

II
Air hujan yang pertama kali turun di setiap musimnya selalu menyarat letih,
membawa arti.
Daun basah, tanah berderak menyatu,
bau tanah bercampur hujan serentak membawa ingatan tentang hujan kita.
..dan kala itu, di tengah riuh riak hanya bisikmu yang terdengar,
“Air hujan yang bercampur tanah konon menciptakan senyawa. Senyawa itu akan mengingatkan kita pada kenangan masa lalu.”
Saestu, pelukan seyogyanya berlatar alunan hujan yang bertalu-talu.

III
Diam dirimu terpekur di sudut waktu,
mengais-ngais kenangan yang terserak retak di granit-granit keras.
Tangismu merekah pecah, namun tertahan di dalam.
Kamu berlarian di setapak labirin masa lalu kita,
meracau tentang persinggahan yang pernah aku janjikan.
Entah lelah,
entah tersesat,
....kamu berhenti.
Memandang masa depan dan masa lalu bergantian.
Kita sama-sama terjebak dalam pusaran waktu.
Dimensimu aku.
Kamu mendimensikan kita.


Gunawan Wiyogo Siswantoro

#TreasuryWritersFestival2013 - Lembang, 28 November 2013

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)