Siap Menginjak Neraka 'Inferno'? (Resensi)
Baru-baru ini saya merampungkan satu bacaan yang cukup menarik
bagi saya secara pribadi, Inferno karya Dan Brown. Nama yang saya sebut
belakangan itu mungkin sangat familiar terdengar karena memang beberapa
karya-karyanya terdahulu sudah melejit dengan menuai berbagai pro kontra di
berbagai kalangan. Sebutlah salah satunya novel Da Vinci Code yang sempat
menimbulkan kehebohan bagi kalangan Kristiani karena detail-detail cerita yang
termuat di dalam novel tersebut menginjak batas-batas keyakinan mereka. Saya
mungkin tidak akan membahasnya lebih jauh karena memang fokus saya saat ini
tertarik pada karya teranyar dari sang maestro twisted plot, Dan Brown, Inferno.
Masih berlatar di kota-kota dengan
nilai kebudayaan masa lampau yang priceless seperti
Florence, Venesia, dan Istanbul, Dan Brown kali ini meminjam satu kumpulan
puisi/syair/canto dari
seorang penyair terkenal Italia, Dante Alighieri, yang berjudul Inferno (satu
dari serangkaian teks lengkap berjudul The
Divine Comedy yang bercerita tentang perjalanan Dante masuk ke
lapisan-lapisan neraka hingga mencapai surga. Ada 3 bagian yaitu Inferno, Purgatorio,
dan Paradiso)
sebagai esensi dan pondasi dari mana petualangan Robert Langdon akan berhulu
dan berhilir. Inferno karya Dante Alighieri sendiri sudah teramat masyur dan
menginspirasi banyak penyair, sastrawan, pelukis, maupun produser dan sutradara
dengan sebuah pandangan yang lebih umum kita kenal sebagai 7 Dosa Besar. Greed, Lust, Gluttony, Pride,
Wrath, Sloth, Envy. Saya sendiri lupa urutannya dan urutan itu
sebenarnya akan menentukan tingkat neraka yang akan dihuni oleh pendosa-pendosa
itu. Silly me.
Kembali ke Inferno karya Dan Brown.
Sebagai salah satu penggemar karya-karya Dan Brown, tak heran jika pada saat
saya membaca lembar pertama, saya berencana untuk memasang
antisipasi-antisipasi agar saya tidak terlempar dalam plotnya yang memelintir,
setidaknya pada chapter-chapter awal. Beberapa ciri khas Dan Brown memang masih
sangat kental diletakkan disana seperti sudut penceritaan yang bergantian dari
sisi ke sisi, penjelajahan, pemecahan misteri/teka-teki dengan berlatar
berbagai lokasi-lokasi artefak seni ataupun tempat kuno bersejarah,
kelokan-kelokan alur di setiap chapter, gaya penceritaan yang disisipi wawasan
Dan Brown dalam bidang simbologi dan sejarah budaya secara menakjubkan,
penggambaran latar secara kulturis yang begitu detil, dan tentu tak ketinggalan
seorang partner wanita muda single cerdas
nan elok yang akan menjadi sosok krusial bagi Langdon dalam menyelesaikan
petualangannya.
Agaknya bagian terakhir yang saya
sebut menjadi semacam obsesi Dan Brown secara pribadi. Pasalnya, sejak dari Da
Vinci Code, Angels and Demons, The Lost Symbol, hingga Inferno, penokohan
dengan ciri-ciri tersebut selalu muncul dan memainkan peran penting untuk
mengisi beberapa kekosongan dalam karakter Robert Langdon. Saya pribadi sering
mengasumsikan bahwa Robert Langdon adalah bentuk manifestasi sempurna dari
karakter Dan Brown sendiri. Salah satu bentuk self esteem mungkin, entahlah.
Inferno memang menawarkan
petualangan sejarah, budaya, dan seni yang tidak diragukan lagi akan mengundang
decak kagum, seperti saat kita menikmati Da Vinci Code ataupun Angels and
Demon. Namun satu yang saya soroti, semenjak Da Vinci Code sukses besar, Dan
Brown setelahnya tampak lebih bermain aman dengan hanya memadukan fakta-fakta
sejarah budaya dengan alur fiksi ciptaannya dalam karya-karya yang lahir pasca
Da Vinci Code (Da Vinci Code secara terang-terangan menguak suatu tema yang
memicu kontroversi bermuatan agama di dalamnya). Satu lagi yang menurut saya
menjadi pembeda, Inferno menawarkan suatu ending yang cukup cerdas, manusiawi,
dan realistis dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain.
Sebagai tambahan, saya berhasil
menebak ending dari Inferno setelah membaca hampir 40% dari tebal halamannya,
tetap terpelintir di chapter tertentu, dan berhasil menebak
jebakan-jebakan twisted
plot di hampir 75% awal cerita. Yah, katakan itu sebagai
kompetisi pribadi, sedikit kesenangan tambahan karena di Angels and Demons,
saya kalah telak dari Dan Brown dengan hasil terpelintir di 30% awal cerita dan
masih terus menebak-nebak endingnya sampai hampir lembar terakhir.
-Resensi sepintas novel Inferno karya Dan Brown-
Gunawan Wiyogo Siswantoro
Timika, 02:19 WIT
29 Oktober 2013
Comments
Post a Comment