Tuhan Itu Maha Asyik (Catatan)

Senin, 25 November 2013 Masehi, 16:50 WIB
“Ayo, ayo, ayo berangkat! Bis sudah menunggu di tempat parkir ya.”
Satu ransel, satu tas selempang sudah nangkring di tubuh saya saat panitia mulai mengarahkan peserta menuju bis. “Ah, lumayan Menambah kapasitas ilmu temanya.” Pikir saya pragmatis. Tak ayal kami berlima belas pun senyum-senyum riang saja.

Rebo Paing, Wulan Sadha, Tahun Jimakir, Windu Sancaya kaping 1655
Pemuda bertubuh liat itu masih mondar-mandir di sekitaran pelabuhan yang baru disinggahinya dari setengah hari perjalanan berkuda dari ujung barat Pulau Jawa, menyusuri pantai utara. Seorang Begawan betawi mengatakan tempat yang ditujunya hanya selemparan batu dari tanah kelahirannya, tanah yang pernah ditinggalkannya dulu. Satu setengah hari berkuda. Tapi entah, dia ragu melangkah saat ditemuinya jalan setapak bercabang, dekat pelabuhan yang nantinya berjuluk Tanjung Priuk.


Senin, 25 November 2013 Masehi, 17:25 WIB
“Wuah, jam segini deadlock mas. Muacet banget kalau lewat sini”
“Iya sih, rencana awal kita berangkat jam 4 sore. Sampai di rest area bisa pas magrib’an kan enak. Tapi berhubung sedikit molor, paling nanti di rest area agak malam.”

Rebo Paing, Wulan Sadha, Tahun Jimakir, Windu Sancaya kaping 1655
Sang pemuda masih terngiang-ngiang wejangan dari sang begawan yang manjing di ujung barat Pulau Jawa yang ditemuinya kemarin silam. Perantauannya mencari kesempurnaan ternyata masih menyisakan potongan masa lalu di tanah kelahiran yang sedang dituju. Potongan itu sudah hampir bergulir 4 putaran windu yang lalu. Kudanya meringkik pelan seakan paham jalan pikiran tuannya. Sedikit tersentak dia pacu laju kuda kesayangan menembus belantara hutan. Ranah Sunda sudah menanti di depan.

Senin, 25 November 2013 Masehi, 19:33 WIB
“Sudah masuk tol, tapi macet sama sekali ndak berkurang. Terus kita bayar tol untuk pelayanan yang mana?” Pikir saya sedikit gusar. Bukan karena nilai gemerincing rupiah yang dibayarkan, tapi lebih karena saya sudah cukup mual digoyang rem-gas-rem-gas bis sedari tadi demi menghindari macet yang mengular naga. Posisi duduk saya tepat tegak lurus dengan roda belakang pula. Saya putuskan bersandar kepala saja sembari mendengarkan rekan-rekan yang masih asyik saling menggoda dan bercanda satu sama lain.

Senin, 25 November 2013 Masehi, 20:29 WIB
Rest area hanya menyisakan satu dua pesinggah. Lekuk-lekuk capek masih tergurat di wajah-wajah letih itu. Tak terkecuali saya. Kusut beradu dengan jok kursi bis. *clung. Sebuah pesan masuk di kotak pesan saya. Dari bapak.

“Le, yen sampean bingung menentukan arah, pijaklah satu prinsip milik sampean yang pernah sampean sampaikan ke bapak. Jaga kedewasaanmu dengan menjaga tanggung jawabmu baik dari segi tindakan ataupun ucapan. Selamat berjuang nggeh”

Sebuah jawaban yang tidak spesifik tapi sedikit menenangkan. Bapak selalu seperti itu. Mengembalikan pencarian solusi untuk saya ke saya sendiri jika beliau merasa saya mampu. Softdrink saya aduk perlahan sembari membaca ulang setiap kata dari pesan bapak. Saya ulang pelan dan perlahan seiring minuman yang semakin menyusut di dalam gelas.

Kemis Pon, Wulan Sadha, Tahun Jimakir, Windu Sancaya kaping 1655
Aroma dan atmosfer yang khas menyeruak ke dalam dirinya. Sejenak berhenti untuk sekedar menghirup nafas dalam-dalam. Udara-udara dingin penuh mengisi paru-parunya. Pemuda itu tahu, ranah Sunda ini memang tak akan pernah hilang dalam jiwanya. Setengah memandang berkeliling, sang pemuda mencari tempat yang dimaksud sang Begawan. Tidak ada petunjuk khusus, tapi keyakinan sang Begawan bahwa sang pemuda akan tahu saat melihat langsung tempat yang dimaksud berhasil membawanya kembali pulang ke tanah kelahirannya.

Senin, 25 November 2013 Masehi, 22:49 WIB
Saya sadar bis kami memasuki ranah Sunda saat udara dingin mulai menggantikan kesesakan asap polusi. Saya berusaha melongok keluar jendela sekedar untuk melihat alam sekitar. Segera sampai. Iseng saya membongkar tas kecil bawaan untuk melihat jadwal acara besok. Badan saya cukup capek setelah hampir seharian menempuh perjalanan dari ujung Papua ke Jakarta yang dilanjutkan ke tanah Sunda ini. Saat membaca kata pengantar, saya sedikit tersentak bahwa jawaban atas pertanyaan saya ke bapak sebelumnya sudah disajikan oleh-Nya tepat di depan mata saya. “Nyaur kudu diukur nyabda kudu diunggang”. Bahwa setiap ide, gagasan, opini, pendapat harus disampaikan jika itu memang perlu, jika itu baik dan tentu harus disertai dengan rasa pertimbangan dan tanggung jawab penuh. Bis telah sampai tanah Lembang, tempat tujuan kami dan saya tersenyum tertahan. Tuhan itu Maha Asyik karena memang Beliau adalah Maha Segalanya.

Kemis Pon, Wulan Sadha, Tahun Jimakir, Windu Sancaya kaping 1655
“Ingatlah Sangkuriang, bagaimana pun juga segala kesaktian dan keahlian kanuragan yang kamu dapatkan tak akan pernah lengkap tanpa kamu tata segala krama dan inggilmu. Berkudalah ke satu hari ke arah timur lalu lanjutkan perjalananmu ke selatan selama satu hari berikutnya. Temui tanahmu. Carilah suatu tempat disana, dimana kamu akan mendapat kedamaian dan jawaban serta babagan kasampurnaan. Nyaur kudu diukur nyabda kudu diunggang”.
Wejangan sang Begawan menyeruak tajam di kepala dan dada Sangkuriang demi dilihatnya ukiran aksara Sunda di sebuah pintu masuk gua batu. Ukiran yang bersabda persis dengan apa yang dikatakan sang Begawan, nyaur kudu diukur nyabda kudu diunggang.


Gunawan Wiyogo Siswantoro
Lembang, 25 November 2013

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)