Andai, Andai, Andai!
Terlalu
banyak andai dalam penanganan pandemi ini. Andai tindakan preventif lebih
aktif seperti beberapa negara, yang saat Wuhan mulai memerah, mereka
sudah gonjang-ganjing. Menutup jalur internasional, khususnya yang
dari dan ke China. Menutup kota atau wilayah yang sudah mempunyai kasus
penularan. Melakukan tracking dengan cepat karena sadar
penularan virus ini seperti adu sprint, beradu dengan waktu.
Andai protokol
darurat kesehatannya disusun lebih detil dan tegas. Mulai dari level nasional
hingga ke unit-unit terkecil di desa dan unit kesehatannya yang mendampingi.
Sehingga puskesmas dan unit kesehatan sejenis yang ada di masing-masing pelosok
tidak gagap mengawal perpindahan warganya. Screening,
pemeriksaan pendatang yang keluar-masuk, memperbanyak sarana isolasi, monitoring warga yang
terduga maupun pasien yang dipantau. Sehingga dukungan kepada tenaga kesehatan
benar-benar terasa, tidak hanya bergaung dalam jargon-jargon, lagu nyanyian, tagline-tagline
kosong serta tagar-tagar ompong.
Andai sosialisasi
lebih sistemis, masif dan terstruktur. Sehingga pusat-pusat keramaian sementara
waktu dapat diatur kontak antar manusianya, ketat dibatasi. Masyarakat mendapat
edukasi yang baik mengenai tata cara hidup sehat yang wajib dilakukan. Cuci
tangan, memakai masker, konsumsi vitamin dan makanan bergizi.
Andai kebutuhan
dasar dijamin lebih baik. Sehingga semua lapisan masyarakat tidak berpikir dua
kali untuk mematuhi anjuran-anjuran dan perintah dari Ulil Amri. Tetap berada di rumah untuk sementara waktu tanpa harus ngotot keluar untuk tetap mencari penghasilan
bagi keluarga kecilnya. Sembari menunggu kebijakan rapid-test dilakukan seluas-luasnya dan arahan-arahan yang lain.
Andai
kebijakan dihasilkan dari koordinasi dan sinergi yang mumpuni. Sehingga sengkarut dan saling anulir kebijakan tidak
terjadi. Pun menjadi lebih bijak. Rakyat pun tidak plonga-plongo bingung mematuhi aturan yang mana. Hingga berdebat
arti dua kata yang tidak ada gunanya untuk mencegah penyebaran. Tidak berkelit
saat melanggar kebijakan satu, dan berargumen lalu menabrakkannya ke kebijakan
yang lain.
Andai pengembangan,
riset, dan produksi alat-alat kesehatan terkait di dalam negeri segera
didorong. Disuntik dana besar. Mulai dari vaksin, alat test, ventilator, masker, handsanitizer, dan seterusnya. Sehingga pengangguran setidaknya
dapat diberdayakan di semua sudut daerah.
Andai
persoalan narapidana dan penjara yang penuh lebih dipikirkan lebih matang dan
bijak. Tentu tenaga mereka dapat berguna untuk produksi-produksi alat kesehatan
tadi. Alih-alih menjadi masalah sosial baru yang mengancam keselamatan
warganya.
Andai isuk tempe, sore tetap tempe dengan
sayur pecel dan nasi. Bukan menjadi dele
(kedelai) lagi. Andai, andai, andai. Jika hanya andai saja, monyet pun
(mungkin) berandai-andai.
Tapi memang
semua andai di atas biayanya besar, sedangkan negara sedang kesulitan menarik hak
pajaknya ditengah kesulitan rakyat. Pun, prosedur penanganan pandemi dan segala
sesuatunya sudah rumit dan sangat tidak mudah. Orkestrasinya berat. Tekanannya tidak hanya datang dari delapan
mata angin. Mungkin enam belas mata angin, mungkin lebih. Tapi, sekali lagi
tapi, jika berlindung dibalik dalih seperti itu, mengapa sukarela mengangkat
tangan menjadi Ulil Amri, menjadi
pemimpin bangsa dan negara? Semoga selalu kuat dan selalu berpihak pada rakyat,
ya Tuan. Kemudimu adalah hakmu sekarang. Namun datangnya hak itu baiknya
didahului dengan pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab yang mensejahterakan.
Aamiin.
Gunawan
Wiyogo Siswantoro
19 Mei 2020
Comments
Post a Comment