Pagi Berembun di Semarang

Setapak, setapak, setapak demi setapak tapak kaki aku tapakkan di setapak jalan malam. Awalnya aku mengira persimpangan ini adalah Simpang Lima yang terkenal seantero Semarang. Satu ruas jalan, dua, tiga, empat, lima, enam. Kok enam? Spontan googlemaps aku akses melalui smartphone. Ternyata bukan Simpang Lima. Di tepian satu sisinya menyolok papan nama sebuah gedung. UDINUS. Universitas Dian Nuswantoro. Mirip nama belakangku. Namun bukan itu yang menarik.

Saat aku berjalan menuju Simpang Enam tadi, satu komplek gedung cukup menarik perhatian.  Sekilas pintu dan jendela dari gedung itu berjajar cukup banyak. Bahkan dengan penerangan yang cukup menyala, tebakanku memilih satu nama bangunan yang tak kalah terkenal dari Simpang Lima tadi. Lawang Sewu. Satu situs bersejarah panjang yang pernah menjadi pusat pemerintahan penjajah dahulu silam. Di seberangnya tampak bangunan serupa dengan ukiran nama Mandala Bhakti. Aku belum tahu bangunan apa itu. Namun melihat gaya arsitekturnya yang khas Belanda, kembali aku menerka bangunan itu, di masa lalu, tak berbeda jauh fungsinya dengan Lawang Sewu. Di seberang sisi yang lain, sebuah bangunan bernama Wisma Perdamaian Rumah Rakyat. Sekali lagi dengan gaya arsitektur yang senada dengan Lawang Sewu dan Mandala Bhakti. Pemandangan seperti ini memang sangat khas terpampang di sebagian besar pusat kota Indonesia, alun-alun atau taman besar yang dikelilingi bangunan-bangunan tua kokoh dengan aroma pusat pemerintahan penjajah. Sangat khas.

Setiap melihat pemandangan yang serupa, saraf imajinasi mau tak mau berusaha menarik serangkaian aktivitas-aktivitas imajiner berlatar masa lampau. Saat alun-alun atau taman besar tadi hanya berupa lapangan tanah liat kosong, dengan tiang-tiang kayu tinggi dimana terikat orang-orang pribumi yang sedang menebus dosa. Entah mencuri, memberontak, berkelahi atau melawan Amtenar. Kemudian, sekilas pedati-pedati tua berseliweran ditarik sapi, mengangkut material batu atau hasil bumi di sela-sela barisan tentara KNIL yang berkerumun per kompi. Tak terasa subuh menjelang. Menghapus nuansa dan frame masa lampau. Semarang seperti kota-kota lain yang pernah aku singgahi. Segar dan lega oleh basah embun. Syahdu dan damai saat subuh.


Gunawan Wiyogo Siswantoro

Direkam 12-13 Februari 2020
Ditulis dan diangan-angankan kembali pada 10 Mei 2020

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)