Kamanungsan di Tengah Kecamuk Perang

“Bebatuan dan puing-puing yang tajam terlumuri darah saat tapak kaki Faraq menyentuhnya. Namun rasa laparnya tentu sangat hebat hingga mengalahkan perih luka-luka kecil di kakinya itu. Batinnya berharap ada sisa-sisa makanan yang dapat dikorek di pasar yang sudah menjadi reruntuhan. Dentuman kembali terdengar di jarak yang tidak terlalu jauh. Secara reflek, tubuhnya kecil menyembunyikan diri di kolong meja yang dipenuhi debu. Sembari melongok ke kanan dan kiri, kedua tangan bocah yang belum genap berusia 9 tahun itu erat menggenggam sepotong roti kering lusuh.

Setidaknya Faraq tidak sendiri dalam berjuang mengais apapun untuk bertahan hidup di tengah kecamuk perang. Teman-teman Faraq seperti Hazir, Ahmeed, Akmal, Ibkar, Luqmaan tak kalah uletnya. Mereka sanggup berjalan hingga puluhan kilometer di antara puing-puing bangunan, yang hancur dihajar bom ataupun rudal tentara musuh, hanya untuk sekedar seikat sayur yang hampir busuk atau sekerat roti berjamur.

Faraq tidak pernah mengenal sosok ayah. Seperti halnya kebanyakan anak-anak di berbagai negara dengan situasi konflik militer, mereka sangat jarang mempunyai ingatan kuat mengenai sosok ayah. Lelaki dewasa akan serta merta terjun sebagai prajurit atau terjebak dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk mengasuh dan mengasihi keluarga inti mereka. Bagi Faraq kecil, seorang Ibu pun sudah cukup.“

Tiga paragraf di atas adalah sepenggal cerita yang rencananya saya rampungkan sebagai cerita pendek atau malah novel. Entahlah. Pilihan pertama yang terlihat realistis. Meskipun pilihan kedua sungguh sangat prestise dan idealis, menggoda, tapi berat (tentu hal-hal besar tak pernah mudah, ya). Cerita sepenggal yang belum rampung diatas berasal-mula dari satu bacaan yang menggugah saya tentang satu realitas perang. Satu realitas yang mungkin luput dari inisiator ataupun pelaku perang. Perang selalu berkumandang dari tiga motif kuno yang disebut 3G. Gold, Glory, Gospel. Kekayaan, Kejayaan/Kekuasaan, Agama. Sebut satu perang yang bukan tentang itu. Tidak ada. Bahkan di era modern saat ini, motif ekonomi (gold) yang sangat kental. Setiap omong kosong yang dijejalkan seperti menjaga perdamaian dunia, pembasmian teroris tak lebih dari justifikasi untuk menguasai sumber daya tertentu. Bahkan dalam film War Dogs, perang sengaja diciptakan agar supply-demand peralatan militer tetap tinggi dan terjaga. It’s a massive and monstrous business. Tentu, tidak serta merta apa yang ada di film dapat dijadikan referensi. Namun pernyataan tentang perang itu menjadi masuk akal melihat tidak ada ujungnya konflik dan peperangan selama ini.

Ok, tentang satu realitas yang luput diatas adalah kemanusiaan. Saat perang, semasif apapun doktrin yang ditanamkan untuk membenci pihak musuh sampai ke darah daging ternyata tidak bisa menghilangkan rasa kemanusiaan di masing-masing individu perang. Terutama bagi individu yang berada di medan pertempuran. Dalam pertempuran memperjuangkan kemerdekaan antara bangsa Indonesia melawan Belanda, ada beberapa kejadian dari kedua sisi yang tak kalah memilukan dari betapa sengsaranya bangsa Indonesia saat itu. Ada beberapa gerilyawan yang menemukan helm perang dari salah satu serdadu Belanda yang tewas diberondong peluru. Niatnya helm itu akan dipakai untuk pelindung kepala seorang gerilyawan. Sekaligus untuk menambahkan ikhtiar kamuflase. Agar terlihat membaur sebagai serdadu Belanda dari kejauhan. Tak disangka, di dalam helm tadi terselip sebingkai foto wanita cantik beserta seorang anak kecil. Kemungkinan potret istri dari serdadu Belanda tadi. Di belakang potret pun terbaca tulisan, “wacht op mij” yang kurang lebih artinya “tunggu aku”. Serta merta mbrebes mili para pejuang ini. Merasa kasihan dengan serdadu yang baru saja mereka bunuh sekaligus sedih mengingat keluarga di kampung nun jauh. Betapa beratnya campur aduk perasaan itu.

Hal serupa saya yakin juga dialami di sisi seberang karena banyak serdadu Belanda yang mengalami PTSD (post traumatic stress disorder) setelah balik pulang ke Negeri Kincir Angin-nya. Beberapa pengakuan dari prajurit Belanda mengungkapkan rasa pilunya saat menyaksikan sendiri kepala istrinya hancur terhantam peluru, dalam keadaan sedang mengandung anaknya. Pengakuan lain mengungkapkan rasa tidak tega seorang prajurit Belanda terhadap kejadian yang menimpa kaum pribumi. Prajurit itu mengatakan bahwa dirinya sering menghadapi kondisi yang mengganggu keadaaan psikisnya. Seperti saat menyaksikan dua anak kecil sedang sesenggukan memeluk mayat ibu dan adiknya, yang mana keduanya dibunuh oleh satu peluru yang sama.

Mereka-mereka di kedua sisi sama sekali tidak menikmati hasil perang, apapun bentuk dan kondisinya. Hanya trauma dan penyesalan. Kondisi-kondisi itu yang ingin saya gambarkan dalam cerita diatas yang sementara masih berwujud tiga paragraf saja. Perang tak pernah mudah bagi kedua sisi. Pemenang? Pecundang? Keduanya hanya pelaku yang terus menerus menelan pil pahit yang bukan obat, melainkan kenyataan.

Semoga bisa menjadi novel, ya.


Gunawan Wiyogo Siswantoro
06 Mei 1989
*kamanungsan kurang lebih artinya menjadi manusia sejati

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)