Kamanungsan di Tengah Kecamuk Perang
“Bebatuan
dan puing-puing yang tajam terlumuri darah saat tapak kaki Faraq menyentuhnya.
Namun rasa laparnya tentu sangat hebat hingga mengalahkan perih luka-luka kecil
di kakinya itu. Batinnya berharap ada sisa-sisa makanan yang dapat dikorek di
pasar yang sudah menjadi reruntuhan. Dentuman kembali terdengar di jarak yang
tidak terlalu jauh. Secara reflek, tubuhnya kecil menyembunyikan diri di kolong
meja yang dipenuhi debu. Sembari melongok ke kanan dan kiri, kedua tangan bocah
yang belum genap berusia 9 tahun itu erat menggenggam sepotong roti kering
lusuh.
Faraq tidak pernah mengenal sosok ayah.
Seperti halnya kebanyakan anak-anak di berbagai negara dengan situasi konflik
militer, mereka sangat jarang mempunyai ingatan kuat mengenai sosok ayah. Lelaki
dewasa akan serta merta terjun sebagai prajurit atau terjebak dalam situasi
yang tidak memungkinkan untuk mengasuh dan mengasihi keluarga inti mereka. Bagi
Faraq kecil, seorang Ibu pun sudah cukup.“
Tiga paragraf
di atas adalah sepenggal cerita yang rencananya saya rampungkan sebagai cerita
pendek atau malah novel. Entahlah. Pilihan pertama yang terlihat realistis.
Meskipun pilihan kedua sungguh sangat prestise
dan idealis, menggoda, tapi berat (tentu hal-hal besar tak pernah mudah, ya).
Cerita sepenggal yang belum rampung diatas berasal-mula dari satu bacaan yang
menggugah saya tentang satu realitas perang. Satu realitas yang mungkin luput
dari inisiator ataupun pelaku perang. Perang selalu berkumandang dari tiga
motif kuno yang disebut 3G. Gold, Glory, Gospel. Kekayaan,
Kejayaan/Kekuasaan, Agama. Sebut satu perang yang bukan tentang itu. Tidak ada.
Bahkan di era modern saat ini, motif ekonomi (gold) yang sangat kental. Setiap omong kosong yang dijejalkan
seperti menjaga perdamaian dunia, pembasmian teroris tak lebih dari justifikasi untuk menguasai sumber daya
tertentu. Bahkan dalam film War Dogs,
perang sengaja diciptakan agar supply-demand
peralatan militer tetap tinggi dan terjaga. It’s
a massive and monstrous business. Tentu, tidak serta merta apa yang ada di
film dapat dijadikan referensi. Namun pernyataan tentang perang itu menjadi
masuk akal melihat tidak ada ujungnya konflik dan peperangan selama ini.
Ok, tentang
satu realitas yang luput diatas adalah kemanusiaan. Saat perang, semasif apapun
doktrin yang ditanamkan untuk membenci pihak musuh sampai ke darah daging
ternyata tidak bisa menghilangkan rasa kemanusiaan di masing-masing individu perang.
Terutama bagi individu yang berada di medan pertempuran. Dalam pertempuran
memperjuangkan kemerdekaan antara bangsa Indonesia melawan Belanda, ada
beberapa kejadian dari kedua sisi yang tak kalah memilukan dari betapa sengsaranya
bangsa Indonesia saat itu. Ada beberapa gerilyawan yang menemukan helm perang
dari salah satu serdadu Belanda yang tewas diberondong peluru. Niatnya helm itu
akan dipakai untuk pelindung kepala seorang gerilyawan. Sekaligus untuk
menambahkan ikhtiar kamuflase. Agar
terlihat membaur sebagai serdadu Belanda dari kejauhan. Tak disangka, di dalam
helm tadi terselip sebingkai foto wanita cantik beserta seorang anak kecil. Kemungkinan
potret istri dari serdadu Belanda tadi. Di belakang potret pun terbaca tulisan,
“wacht op mij” yang kurang lebih
artinya “tunggu aku”. Serta merta mbrebes
mili para pejuang ini. Merasa kasihan dengan serdadu yang baru saja mereka
bunuh sekaligus sedih mengingat keluarga di kampung nun jauh. Betapa beratnya
campur aduk perasaan itu.
Hal serupa saya
yakin juga dialami di sisi seberang karena banyak serdadu Belanda yang
mengalami PTSD (post traumatic stress disorder)
setelah balik pulang ke Negeri Kincir Angin-nya. Beberapa pengakuan dari
prajurit Belanda mengungkapkan rasa pilunya saat menyaksikan sendiri kepala
istrinya hancur terhantam peluru, dalam keadaan sedang mengandung anaknya.
Pengakuan lain mengungkapkan rasa tidak tega seorang prajurit Belanda terhadap kejadian
yang menimpa kaum pribumi. Prajurit itu mengatakan bahwa dirinya sering menghadapi
kondisi yang mengganggu keadaaan psikisnya. Seperti saat menyaksikan dua anak
kecil sedang sesenggukan memeluk mayat ibu dan adiknya, yang mana keduanya dibunuh
oleh satu peluru yang sama.
Mereka-mereka
di kedua sisi sama sekali tidak menikmati hasil perang, apapun bentuk dan
kondisinya. Hanya trauma dan penyesalan. Kondisi-kondisi itu yang ingin saya
gambarkan dalam cerita diatas yang sementara masih berwujud tiga paragraf saja.
Perang tak pernah mudah bagi kedua sisi. Pemenang? Pecundang? Keduanya hanya
pelaku yang terus menerus menelan pil pahit yang bukan obat, melainkan kenyataan.
Semoga bisa menjadi novel, ya.
Gunawan
Wiyogo Siswantoro
06 Mei 1989
*kamanungsan kurang lebih artinya menjadi
manusia sejati
Mantap sekali, Jozz mas bro
ReplyDelete