Musim Semi di Jazirah (Bab #1 Part #1)

Bebatuan dan puing-puing yang tajam terlumuri darah saat tapak kaki Faraq menyentuhnya. Namun rasa laparnya tentu sangat hebat hingga mengalahkan perih luka-luka kecil di kakinya itu. Batinnya berharap ada sisa-sisa makanan yang dapat dikorek di pasar yang sudah menjadi reruntuhan. Dentuman kembali terdengar di jarak yang tidak terlalu jauh. Secara reflek, tubuhnya kecil menyembunyikan diri di kolong meja yang dipenuhi debu. Sembari melongok ke kanan dan kiri, kedua tangan bocah yang belum genap berusia 9 tahun itu erat menggenggam sepotong roti kering lusuh.

Setidaknya Faraq tidak sendiri dalam berjuang mengais apapun untuk bertahan hidup di tengah kecamuk perang. Teman-teman Faraq seperti Hazir, Ahmeed, Akmal, Ibkar, Luqmaan tak kalah uletnya. Mereka sanggup berjalan hingga puluhan kilometer di antara puing-puing bangunan, yang hancur dihajar bom ataupun rudal tentara musuh, hanya untuk sekedar seikat sayur yang hampir busuk atau sekerat roti berjamur.

Faraq tidak pernah mengenal sosok ayah. Seperti halnya kebanyakan anak-anak di berbagai negara dengan situasi konflik militer, mereka sangat jarang mempunyai ingatan kuat mengenai sosok ayah. Lelaki dewasa akan serta merta terjun sebagai prajurit atau terjebak dalam situasi yang tidak memungkinkan untuk mengasuh dan mengasihi keluarga inti mereka. Bagi Faraq kecil, seorang Ibu pun sudah cukup.

Shadiya dan Rami, ibu dan ayah Faraq, kala itu belum saling akrab mengenal. Rami sedang menyelesaikan studinya di Lebanese University saat bertemu dengan Shadiya pertama kalinya di perpustakaan kampus. Sangat klasik. Shadiya bekerja sebagai asisten pustakawan di situ. Fakultas tempat studi Rami kebetulan berseberangan gedung dengan perpustakaan kampus. Tak sulit tentu bagi keduanya untuk saling tertarik pada akhirnya. Shadiyah yang telaten mencarikan Rami berbagai referensi dan literatur untuk tugas-tugas Rami tentu mendapat perhatian lebih dari Rami sendiri.

Rami ternyata sosok yang praktis dan tidak suka bertele-tele. Jika program studinya sudah selesai, Rami berencana untuk segera masuk ke dunia kerja dan sesegera mungkin meminta restu dari orang tua Shadiya. 

Di beberapa kesempatan selanjutnya, dua sejoli ini mulai menyempatkan untuk sekedar bertamasya. Menepi dari hiruk-pikuknya kota Beirut. Sesekali keduanya menelusuri pepohonan bukit-bukit Bkassine di atas motor. Atau sekedar menikmati jajanan pinggir jalan di sekitaran komplek Mohammed Al Amine’s Mosque yang melegenda itu. Bahkan, Rami sudah pernah mengajak Shadiya berkunjung ke Tripoli, kota kelahirannya. 

Kampung halaman Rami terdapat di perbatasan Tripoli. Salah satu kota penting di Lebanon. Meskipun bukan terletak di jantung kota Tripoli, namun Rami mengikuti denyut-denyut sosial politik yang terjadi di Lebanon, lebih tepatnya melalui pergaulannya di Tripoli. Setiap kali pulang ke rumah orang tuanya di Tripoli, Rami selalu menyempatkan untuk berkumpul bersama teman-teman sepermainan yang telah dikenalnya sejak kecil. Rami selalu antusias berdiskusi santai tentang keadaan politik dan negara meskipun dia sendiri tidak ingin menjadi seorang politisi atau pejabat pemerintahan. Anehnya, bersama Shadiya, Rami tidak pernah sekali pun menunjukkan ketertarikan setiap kali Shadiya mengutarakan opininya tentang orang-orang pemerintah ataupun tentang intrik-intrik korupsi pejabat-pejabat disana. Pun saat Shadiya menggebu-gebu bercerita mengenai ambisinya menjadi seorang anggota parlemen. Rami selalu menanggapinya dengan sambil lalu, dengan raut wajah malas. Shadiya tidak pernah merasa sakit hati meskipun setiap ocehannya tentang dunia politik ditanggapi dingin oleh Rami. Setidaknya seperti itu awalnya. (Bersambung)


Gunawan Wiyogo Siswantoro
09 Mei 2020

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)