Pegang Kemudi Kapalmu, Tuan

Bagi masyarakat Tiongkok, mungkin lockdown atau karantina wilayah dapat menjadi salah satu bagian dari new normal. Dua hari yang lalu, Selasa 12 Mei 2020, otoritas wilayah di Shulan memberlakukan karantina wilayah kota yang berada di Provinsi Jilin tersebut. Kebijakan ini ditempuh pemerintah China setelah belasan kasus baru yang terdeteksi tiga hari sebelumnya. Sah, Shulan menjadi kota kedua di Tiongkok yang mendapat perlakuan lockdown.

Pemberlakuan lockdown ini otomatis menjadi perhatian seluruh dunia. Wabil khusus dari WHO, para kepala negara, industri-industri kesehatan, dan tak luput juga para ahli virus yang  sedang mengutak-utik genom-genom Covid19 demi mendapat vaksin ampuh sesegera mungkin. Kota Shulan seakan menjawab keraguan beberapa pemimpin dunia yang sedang maju-mundur untuk mengendurkan pembatasan wilayahnya. Bahwa perang sama sekali belum akan usai. Di China, perang tersebut memasuki babak kedua. Second wave. Kota Wuhan pun yang awalnya bersuka cita karena pertama kali menang angka terhadap Covid19, kini mulai dibayang-bayangi karantina wilayah kembali setelah satu-dua kasus baru dilaporkan. Setelah sebulan menikmati nol kasus baru.

Di bidang kesehatan, khususnya virologi, memang dikenal istilah second wave dari virus-virus yang menjadi pandemi. Gelombang kedua. Keadaan dimana korban-korban baru yang terjangkit virus, angkanya kembali meningkat tajam setelah terjadi penurunan drastis sebelumnya. Yah, karena penyebarannya yang sangat cepat dan bersifat eksponensial. Mirip keanggotaan MLM saat mulai memasuki grafik puncak dengan slope kanan atas yang menarik bagi calon anggota barunya.

Satu pembawa virus akan menyebarkan kepada dua orang. Dua orang akan menjadi agen baru untuk menyebarkan kepada empat orang yang lain. Empat selanjutnya ke delapan. Lalu enam belas. Tiga puluh dua, enam puluh empat. Seratus sekian dan seterusnya. Asumsi R0-nya bernilai 2 poin. Jika ngikutin lidah lokal saya, R0 tadi terbacanya menjadi Er-enol.

Er-enol ini artinya berapa kali lipat jumlah orang yang tertular virus dalam setiap masa inkubasi. Masa inkubasi ini adalah ukuran waktu yang dihitung dari kapan seseorang  mulai terpapar virus hingga menunjukkan gejala infeksinya. Jadi misal R0 suatu virus adalah 2 dan masa inkubasinya adalah 5 hari, artinya virus tersebut berpotensi menular sebanyak dua kali lipat selama waktu 5 hari. Bagaimana jika berlipat tiga? Atau empat? Jangan dibayangkan dan semoga tidak terjadi. Penyebaran yang sangat cepat inilah yang menjadi faktor utama mengapa selalu ada second wave dalam kasus-kasus pandemi sebelum Covid19. Karena begitu intensitas hubungan antar-manusia kembali meningkat, kesempatan untuk terjadi penularan juga meningkat. It’s a simple math.

Shulan harus menjadi laboratorium jarak jauh negara-negara lain yang bahkan belum tuntas dengan babak pertamanya. Sebuah early warning tentang potensi adanya second wave. Ini adalah peringatan dini agar jangan sampai terjadi ketinggalan nalar, kelambanan berpikir dan kurangnya bertindak efektif untuk kedua kalinya. Keep the priorities straight. Salah langkah mungkin masih dimaklumi jika segera diperbaiki. Tapi kalau gagap, jangan.

Juga jangan terbolak-balik logikanya. Jangan sampai nanti ada pemahaman-pemahaman yang melenceng tentang penanganan Covid19 di China ini. Hal-hal yang kurang relevan. Misalnya tentang keberhasilan penanganan, kemampuan lockdown, atau penutupan akses berpindah tempat (domestik maupun internasional) yang kemudian dikaitkan dengan status komunis atau tidaknya suatu negara. Kurang relevan. Australia, Kamboja, China, Vietnam, Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Selandia Baru dan beberapa lagi yang lain. Grafik mereka sudah menurun drastis. Sudah pembalikan dan hampir tidak ada kasus baru yang masif setiap harinya.

Lalu, jangan sampai juga tercetus bahwa dengan kebijakan lockdown, China pun masih kebobolan kasus-kasus baru yang meningkat lagi, jadi buat apa kebijakan lockdown. Patah nalar itu. Runutan logikanya kan mustinya seperti berikut ini. Jika dengan lockdown saja masih kebobolan, apalagi dengan social-physical distancing yang sejatinya lebih longgar daripada lockdown.

Social-physical distancing tentu bukan kebijakan yang buruk, jika semua populasi yang terlibat dapat meyakinkan dan diyakinkan untuk mematuhinya. Bukan carut-marut anulir sana, tabrak sini. Jangan hanya rakyat saja yang dipandangi dengan kaca pembesar. Karena kemudi kapal sejatinya dipegang nakhkoda, bukan mualim kelas satu. Apalagi nakhkoda kapal tetangga. Lebih-lebih tukang sorak atau cheerleader. Jangan ya, tuan dan puan.

Gunawan Wiyogo Siswantoro
14 Mei 2020

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)