Gatotkaca, Kapan Mengudara Kembali? Part #2

N250 dirancang untuk multi-purpose. Fleksibel digunakan sebagai pesawat komersil penumpang ataupun barang. Sebagai carrier, N250 cukup mumpuni dalam penerbangan berjarak pendek-sedang. Penerbangan pendek-sedang ini rata-rata berjarak 1.500 km hingga 4.000 km berdasarkan eurocontrol. Sesuai dengan jarak rata-rata antar pulau di Indonesia yang mayoritas masuk dalam skala penerbangan pendek-sedang. Sebagai contoh, jarak penerbangan Jakarta-Bandar Lampung berkisar 200-250 km. Aceh ke Merauke dalam jarak kurang lebih 7.800 km. Artinya, negara kepulauan dengan 17.504 pulau seperti Indonesia, akan selalu mempunyai pekerjaan rumah besar dalam salah satu kegiatan utama ekonominya. Distribusi barang.

Akses antar pulau yang terbatas menyebabkan mahalnya ongkos distribusi. Secara langsung hal itu akan menyebabkan njomplang-nya harga produksi dengan harga konsumsi suatu barang. Konsumen menanggung harga yang sangat mahal. Hal ini mungkin hampir tidak terasa bagi penduduk di pulau-pulau utama seperti Jawa, Sumatra, Kalimantan, dll. Tetapi bagi keluarga para nelayan di pesisir pulau Rote, penduduk Gunung Awu yang terpencil di Tahuna, atau rakyat pedalaman Mentawai tentu berbeda. Disparitas harga antar daerah menjadi tinggi. Biaya distribusi harus ditekan. Harus mempunyai armada yang handal.

Persis seperti yang menjadi concern Presiden Joko Widodo dalam satu kesempatan. Beliau mempunyai satu arah kebijakan yang sama dengan visi Eyang Habibie dulu. Jokowi mengatakan bahwa kapal motor antar pulau dapat menekan biaya distribusi. Yah, sedikit berbeda memang teknologi transportasinya, N250 dengan kapal motor. Namun tidak masalah karena poin utama disini adalah mahalnya biaya distribusi antar pulau selalu menjadi hambatan ekonomi di setiap masa. Bahkan melewati beberapa kali masa kepresidenan.

Kedua, konektivitas antar pulau. By design N250 tidak mutlak diperuntukkan untuk membawa barang saja. Dengan kapasitas 50 penumpang, direncanakan biaya perpindahan manusia antar pulau semakin mudah dan murah. Perpindahan manusia mempunyai arti positif dalam distribusi peradaban, distribusi teknologi, distribusi kebudayaan, distribusi nilai-nilai sosial yang positif lainnya. Itulah mengapa Eyang mengatakan industri dirgantara ini adalah pintu bagi Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mandiri.

Salah satu faktor paling rumit dalam pembuatan pesawat adalah distribusi tekanan. Bagaimana mendistribusikan tekanan udara yang besar secara merata, dihitung hingga level atom. Untuk meringankan bobot pesawat, sambungannya lebih kokoh. Sehingga di ketinggian sekian ribu kaki sekalipun lebih kuat, lebih kecil risiko body ringsek, retak. Crack Propagation Theory. Teori Crack. Teori aplikatif yang ditemukan oleh Eyang Habibie. Saking lekatnya beliau dengan teori tersebut, di luar negeri, Eyang dikenal sebagai Mr. Crack.

Teori-teori yang dikembangkan oleh Eyang Habibie ini mempunyai prinsip-prinsip yang aplikatif untuk industri-industri sejenis. Misalnya pembangunan kapal, kapal selam, kereta api yang juga menerapkan distribusi tekanan merata. Jika masing-masing industri tersebut menjadi kuat, maka dalam hal moda transportasi umum, Indonesia akan berdikari. Selanjutnya, sangat terbuka peluang untuk menjadi negara produsen dan pengekspor moda transportasi umum ke seluruh dunia. Paten-paten penting dalam indsutri tersebut sudah sudah dipegang oleh Eyang. Termasuk teknologi fly by wire yang tergolong canggih bahkan sampai sekarang. Kumplit. Silahkan lanjut surfing di internet deh, untuk mencari tahu negara-negara mana saja yang menjadi maju dengan dukungan industri-industri tersebut. Itulah visi Eyang. Itu yang dinamakan visionary leadership.

Saat ini generasi lanjutan N250 telah disiapkan. Namanya R80. Kapasitasnya ditambah. Namun kali ini tidak dimotori langsung oleh negara atau BUMN. Hanya kerjasama antara PT Regio Aviasi Industri dan PT Dirgantara (dulu IPTN). Inisiasinya dari Regio. Regio Aviasi Industri dikomandoi oleh duo Habibie. Seorang Habibie yang di dalam tubuhnya mengalir deras darah-darah kecerdasan BJ Habibie, Ilham Akbar Habibie. Komando yang satunya oleh BJ Habibie sendiri. Regenerasi. Ilham Akbar Habibie adalah anak kedua Eyang Habibie dan Eyang Ainun. Saya sih yakin Eyang Ainun tentu support dalam restu dan doanya meskipun secara fisik tidak membersamai keduanya dalam proyek ini. Dan dukungan sang ayah juga diberikan dengan sepenuh hati. Beberapa kali Eyang Habibie ikut memberikan masukan teknis mengenai grand-design N80 secara langsung. Proyek bapak-anak dengan restu ibu tentunya. Romantis, ya. Yah, memang proyek ini sedikit terseok-seok dalam proses membangun prototipenya. Biayanya sangat-sangat besar. Hingga bentuk partisipasi kita semua sebagai anak bangsa diperlukan dalam bentuk open donation waktu itu. Teriris sekaligus bangga dan haru. Betapa campur aduknya perasaan.

Soal teknologi transportasi, kemampuan kita memang tidak inferior. Potensi kita besar. SDM kita mumpuni dan unggul kok sejatinya. Saat ini pun Indonesia sudah mampu mengekspor kereta api ke Nepal. Itulah mengapa, saat launching mobil Esemka yang dirakit oleh anak-anak SMK kapan waktu itu, saya pribadi merasa sudah pas, bagus, dan membanggakan itu. Dulu memang kita sudah pernah merakit mobil Teknologi Industri Mobil Rakyat. Mobil Timor. Tapi waktu itu bukan dirakit oleh anak SMK. Melainkan oleh pengusaha yang, tidak kebetulan, juga anak penguasa Orde Baru. Maka saat beberapa dekade setelahnya hal yang sama dilakukan oleh anak SMK, itu artinya ada kemajuan. Anak SMK loh yang ngrakit, bukan lagi pengusaha anak penguasa. Namun, memang anak Indonesia itu tidak suka sombong. Belum ada kan yang nyombong seperti, “Ngerakit mobil? Bikin pesawat pun kita bisa, Bos!”

Kagem Eyang Bacharuddin Jusuf Habibie dan Eyang Hasri Ainun Habibie, Al-Fatihah. Saya menangis tertahan mengetik tulisan ini. Sangat besar jasa Eyang berdua. Sungguh.


Gunawan Wiyogo Siswantoro
16 Mei 2020

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)