Robohnya Nalar Kami, kah?

Mushola atau langgar atau surau pasti membekaskan satu ingatan yang cukup kuat dalam masa kecil setiap mayoritas pribadi-pribadi dewasa yang beragama Islam. Betapapun bejat kehidupan pribadi-pribadi itu saat ini. Secara pribadi, ingatan itu lebih terasa lekat saat satu karya A.A. Navis menjadi materi pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SMP. Robohnya Surau Kami. Cerita pendek yang sangat identik dengan Ali Akbar Navis itu sendiri. Sebuah cerita tentang bagaimana bernalar dalam berkehidupan, bahkan dalam salah satu taraf paling fundamental yaitu beragama dengan Tuhan dan berkehidupan dengan manusia. Serta, jika tidak sangat berat, berkesinambungan dengan alam. Rahmatan lil Alamin. Meskipun memang dalam Robohnya Surau Kami titik poinnya adalah tentang memaknai nalar agama dalam hubungan antar manusia.

Pengalaman tentang bagaimana bernalar yang baik sebenarnya juga banyak ditawarkan dalam pelajaran-pelajaran yang lain. Yang paling menonjol tentu saja dalam matematika. Tidak ada cara belajar nalar dan logika yang paling ampuh dan mendasar selain melalui matematika. Di dalamnya terdapat aturan yang tegas, angkuh, dan dingin tentang konsekuensi logis, keadilan, pola, logika, kepastian dan seterusnya. Jika dipelajari dan diajarkan dengan benar. Itulah mengapa sakleknya matematika dan ilmu-ilmu eksakta lainnya harus dibarengi dengan penumbuhan empati, simpati, dan aspek sosial yang lain juga. Agar hati tidak menjadi keras, terlalu logis, atau yang lebih parah menuhankan angka. Lalu, bagaimana matematika dipelajari dan diajarkan secara benar? Akan ada tulisan tersendiri tentang itu. Setidaknya dari sudut pandang paling pribadi.

Agaknya, untuk saat ini, justru terdapat kekurangan daya nalar dan logika yang baik, yang menjadikan beberapa hal penting menjadi kurang tepat sasaran. Lebih-lebih pada level kebijakan yang menjadi kepentingan masyarakat. Dalam keadaan normal, kebijakan yang mengatur tentang hajat khalayak ramai adalah satu hal yang penting. Tentu saja dalam keadaan extraordinary seperti dalam masa pandemi Covid19 sekarang, ketepatan arah kebijakan menjadi jauh lebih penting dan krusial. Seperti apa?

Kebijakan larangan berpindah kawasan/regional tentu sangat tepat dalam pemutusan rantai penyebaran virus Covid19, demi mengurangi potensi menyebarnya virus tersebut ke daerah-daerah di luar zona merah. Namun kebijakan tersebut kurang memperhatikan efek lanjutannya. Konsekuensi logisnya, di daerah epicentrum Covid19 hampir semua perusahaan, lini bisnis, sektor ekonomi produksi-distribusi-konsumsi berhenti dan merumahkan sebagian besar tenaga kerjanya. Penghasilan individu per individu ini pun praktis menurun, baik pegawai tetap maupun pekerja lepas harian. Apakah konsumsi dasar mereka menurun signifikan? Sulit. Belum lagi masyarakat yang berada di bidang kerja informal. Buruh, kuli, pedagang harian, ojek online yang hari ini kerja, hasilnya untuk makan hari ini juga. Lalu, bagaimana dengan masyarakat di luar usia produktif? Pasti lebih sulit lagi. Mereka-mereka dilarang mudik namun kebutuhan dasar mereka tidak semua terjamin. Bantuan resmi juga musti melewati prosedur administrasi yang tidak mungkin dihilangkan. Sedangkan sebagian identitas kependudukan mereka terdaftar di luar daerah epicentrum. Diskresi-diskresi dengan nalar yang logis praktis diperlukan tanpa menghilangkan aspek pertanggungjawaban yang akuntabel. Tidak mudah namun bukan tidak mungkin. Salah satu opsi adalah pemenuhan kebutuhan dasar secara cepat dan menyeluruh. Biayanya tentu sangat besar. Oleh karena itu perlu dilakukan shifting anggaran daerah epicentrum dan pusat secara ekstrem dan fokus pada pemutusan penyebaran. Opsi-opsi lain yang masih tersedia dan tentu dapat dirumuskan. Di titik ini, masyarakat butuh leadership yang sangat kuat. Sekali lagi, leadership. Bukan penokohan atau pengkultusan sosok.

Selanjutnya, kebijakan-kebijakan yang saling menganulir pada level entitas yang setara. Tentu hal ini lebih sulit dijelaskan dengan nalar dan logika yang baik mengingat entitas-entitas tersebut tergabung dalam satu entitas yang lebih besar. Sehingga koordinasi dan sinergi yang baik tentunya lebih mudah dilakukan dan menjadi wajib untuk dilaksanakan. Mengapa koordinasi dan sinergi ini penting? Mengapa saling anulir ini perlu segera dihilangkan? Karena kebingungan yang akan terjadi akibat dari tumpah tindih dan saling anulir kebijakan tadi mengakibatkan kericuhan dan lambatnya eksekusi teknis di lapangan. Dampaknya, biaya materiil dan non-materiil sebagai konsekuensi yang timbul pun semakin besar.

Ada satu contoh lagi mengenai suatu kebijakan yang kurang memperhatikan nalar, meskipun sudah terjadi pada beberapa tahun yang lalu. Uji emisi pada mobil listrik. Uji emisi dapat dikatakan sebagai serangkaian proses untuk menganalisa dan mengetahui tingkat konsentrasi dari unsur berbahaya yang mengikat dan berubah di dalam zat GAS BUANG kendaraan yang diuji. Mobil listrik tidak menghasilkan gas buang. Sehingga, melakukan uji emisi pada mobil listrik saja sudah merupakan patah nalar. Namun ternyata patahnya tidak berhenti sampai di sana. Mobil listriknya tidak lulus uji emisi. Patah sepatah-patahnya, remuk menjadi debu.

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, apakah bernalar dengan baik ini justru bertentangan dengan salah satu kaidah sami’na wa atho’na, kami mendengar dan kami taat? Keduanya tidaklah bertentangan karena, secara pandangan pribadi, menerapkan kaidah sami’na wa atho’na adalah seperti halnya saat menerapkan kaidah qana’ah. Qana’ah (berserah diri) dilakukan setelah upaya terbaik telah dilakukan. Ketaatan dapat dilakukan setelah kita melakukan nalar dan logika yang baik untuk kebaikan. Sebagai catatan lebih lanjut dan tak terpisahkan, kaidah sami’na wa atho’na menjadi mutlak pada saat menjalani sebuah ketentuan yang telah secara valid/sahih dipastikan merupakan perintah Allah dan Rasul-nya, maka tidak ada ruang untuk mengotak-atik atau mengakalinya.

Sungguh pendapat-pendapat ini merupakan pandangan pribadi yang sangat terbuka untuk diperbaiki dan didiskusikan. Murni karena adanya keterbatasan wawasan yang sempit. Semoga nalar-nalar nanti tidak terlalu sangat sempit seperti tokoh dalam Robohnya Surau Kami, ya.


Gunawan Wiyogo Siswantoro
08 Mei 2020.

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)