Jingkrak-Jingkrak Nir Nalar

Kejadian-kejadian menarik mewarnai lini sosial media beberapa hari ini. Bahkan ada beberapa yang cukup menggelitik sekaligus miris. Pertama, adalah kesalahpahaman lelang dalam acara konser kolaborasi MPR, BPIP dan BNPT. Kedua, adalah tindakan baku hantam antara salah seorang aparat dengan pemuka agama. Dalam pandangan pribadi, keduanya berasal dari gagal nalar. Lagi-lagi, ya.

Yang pertama adalah lelang. Sebagian besar pasti sudah mengetahui dan familiar dengan kata lelang. Tapi siapa sangka, tidak seperti itu yang terjadi pada Muhammad Nuh asal Jambi. Apa yang dialami oleh Muhammad Nuh ini memang sangat menggelitik, namun juga menjadi sangat miris melihat potret kehidupan berbangsa kita jika ditengok jauh ke pelosok. Ke bagian terkecil dari kehidupan berbangsa. Rakyat itu sendiri. Orang per orang. Muhammad Nuh tidak paham arti kata lelang.

Ketiga lembaga negara MPR, BPIP, dan BNPT yang menjadi inisiator dilaksanakannya konser virtual solidaritas kemanusiaan. Temanya juga tidak receh karena bertujuan menggalang kekuatan untuk melawan Covid19. Bersatu Melawan Corona. Konser tersebut dilaksanakan Minggu lalu pada tanggal 17 Mei 2020. Donasi dibuka untuk mengumpulkan dana yang akan disumbangkan seluruhnya untuk support penanganan Covid19. Bahkan demi menarik animo masyarakat, Presiden Jokowi pun ikut menyumbangkan tanda tangannya pada sebuah motor yang akan dilelang pada konser tersebut. 

Konser pun digelar di tengah hujan kritik. Namun, ternyata tidak tanggung-tanggung hasilnya. Sebanyak Rp 4 miliar berhasil dikumpulkan dengan rincian sekitar Rp 1,5 miliar dari donasi rame-rame dan Rp 2,5 miliar dari hasil lelang satu buah motor bertanda tangan Pak Presiden. Pemenang lelangnya ya Muhammad Nuh tadi. Alhamdulillah. Eits, tapi keliru. Disini dagelan dimulai.

Saat diumumkan di seluruh kanal berita, tentu tidak sedikit yang berandai-andai dan mengira-ngira. Siapa sosok Muhammad Nuh yang disebutkan oleh Wanda Hamidah, salah satu pembawa acara konser, sebagai seorang pengusaha asal Jambi ini. Bahkan saat konser, sesaat setelah diumumkan pemenang, Wanda menyatakan data-data pemenang ini confirmed sebagai pengusaha. Bahkan Wanda sampai menegaskan confirmed dengan dua kali terhubung lewat sambungan telepon. Eh ladalah, tidak lama Muhammad Nuh ini diperiksa polisi. Bukan karena beliau kriminal atau apa, tapi ternyata karena terkuak satu fakta. Muhammad Nuh ini buruh. Bukan pengusaha seperti yang dinyatakan Wanda. 

Saat diperiksa polisi, dugaan sementara Muhammad Nuh ini melakukan penipuan. Penipuan yang bukan main-main loh. Di depan publik, disiarkan nasional oleh berbagai kanal media dan televisi. Namun usut punya usut, dugaan tadi gugur. Muhammad Nuh ternyata tidak memahami arti kata lelang. Saat ikut lelang itu, dia menyangka sedang mengikuti kuis-kuis yang biasanya diadakan di beberapa acara. Yang kalau dia bisa menjawab, ya dapat hadiah. Termasuk nominal Rp 2,5 miliar yang disebutkan saat lelang itu. Hepi tho, dapat motor, dapat uang Rp 2,5 miliar. Oalah, batal lah hasil Rp 4 miliar. Menyusut menjadi Rp 1,5 miliar saja. Itu pun kalau sudah dipotong nett biaya penyelenggaraan konser. Kalau masih bruto? Ya lebih mungsret lagi nominal sumbangannya. Nalarnya loh. Acara nasional, resmi dari pemerintah, dengan tujuan besar dan mulia, diisi oleh para profesional, panitianya bejibun. Mengkonfirmasi data seorang Muhammad Nuh? Berantakan.

Kedua, soal baku hantam tadi. Persoalannya mungkin perlu kita tarik sampai ke tahap asbabun-nuzul perkara ini. Yaitu aturan penghentian dan pelarangan melintas kendaraan dengan kapasitas tertentu dari dan ke Red Zone Covid19. Jadi, pemuka agama ini diberhentikan mobilnya oleh aparat gabungan. Alasannya kapasitasnya melebihi jumlah maksimal jenis sedan sesuai protokol kesehatan saat pandemi Covid19. Lima orang di dalam mobil. Batas maksimal tiga orang. Dua diminta turun dan akan diantar dengan kendaraan aparat. Sang pemuka agama tidak berkenan. Kedua pihak berdebat. Emosi tidak tertahan. Lalu baku hantam. 

Alasan hanya boleh mengisi maksimal setengah kapasitas mobil ini tujuannya agar tidak terjadi penularan antar penumpang di mobil. Semuanya. Pukul rata. Namun yang luput disini adalah bagaimana jika seluruh penumpang mobil ini adalah orang-orang yang sudah tinggal satu atap selama ini. Satu keluarga. Beraktivitas dalam satu rumah. Berinteraksi. Bersentuhan. Kemudian bepergian dengan satu mobil. Lah kok dilarang berada dalam satu mobil dalam kapasitas normal? Mereka ini sudah serumah. Cara mengecek mereka benar-benar satu rumah bagaimana? Cek KTP atau kartu identitas yang lain. Itu baru fair dan nalar. Tidak menyulitkan dan tetap patuh menjaga. Tapi sekali lagi, ini asumsi dan pandangan pribadi. Biar tidak terjadi lagi saling ngotot lalu baku hantam.

Lalu, perkembangan kedua kejadian tersebut, saat ini, pemuka agama terancam sanksi. Dianggap melanggar protokol kesehatan Covid19. Donasi dari konser tidak jadi Rp 4 miliar. Muhammad Nuh tidak jadi dapat motor dan uang, plus masih diperiksa  polisi. Kalau sampai kemudian Muhammad Nuh yang mendapat sanksi, wes embuhlah.

Untuk pemuka agama, ada dua pilihan yang fair. Kalau beliau dihukum berarti penyelenggara konser juga harus dihukum. Kalau penyelenggara konser tidak dihukum, pemuka agama tersebut juga jangan diukum. Lho kok? Kan konser kemarin juga melanggar protokol kesehatan Covid19. Tidak pakai masker dan tidak ada social-physical distancing. Nah kan. Adil itu sejak dari pikiran. Setidaknya berusaha lah seperti itu.


Gunawan Wiyogo Siswantoro
22 Mei 2020

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)