Musim Semi di Jazirah (Bab #1 Part #2)

Dunia tentu dekat dengan Lebanon. Setidaknya melalui penyairnya yang membius gelegak-gelegak muda yang deras dialiri, elixir cinta, feromon. Kahlil Gibran memang terlahir di Lebanon, meskipun kemudian karya-karya besarnya banyak lahir di Amerika Serikat.

Pamor Lebanon tidak hanya membumbung lewat syair-syair Kahlil Gibran. Jauh sebelum syair-syair itu digandrungi kaum pecinta di era modern, Lebanon telah lebih dahulu terkenal di segala penjuru. Bahkan beberapa kota pentingnya seperti Beirut dan Tripoli juga mempunyai reputasi yang bagus. Tripoli yang menghasilan devisa bagi Lebanon. Kemudian Beirut sebagai sebuah kota di Jazirah Timur Tengah yang arsiktektur dan infrastruktur kotanya senada dengan gaya bangunan Eropa yang anggun. Perekonomian Lebanon memang sangat didukung sektor pariwisatanya, selain dari sektor perbankannya yang sangat maju. Berbagai spot wisata menarik seperti Kadisha Valley, National Museum of Beirut, atau nuansa alam Cedars of God Bsharri yang menjadi tempat rekreasi favorit bagi kedua orang tua Faraq.

Namun, semua hal indah tersebut tidak menghentikan rakyat Lebanon untuk saling menumpahkan darah dan tangis. Mudah saja mereka menghancurkan keindahan, dan menyayat luka ke dalam memori anak-cucunya. Pemicunya sangat klasik dan kuno. Konflik agama.

Keberagaman sangat terasa di Lebanon. Muslim dan Kristen memang mendominasi dengan proporsi sekitar 90% populasi. Sedangkan 10% populasi diisi oleh penganut Yahudi, Baha’i, Buddha, Hindu, Druze, hingga Mormon.  Seluruh rakyat awalnya hidup damai berdampingan, menikmati kemajuan peradabannya. Namun percikan dua kelompok besar populasi ini kemudia menyeret negara dalam konflik saudara yang merah.

Shadiya maupun Rami adalah pemeluk Kristen yang ramah. Keberagaman agama pun menjadi salah satu hal yang mereka syukuri. Beberapa sanak mereka adalah pemeluk-pemeluk Islam yang taat. Shadiya dan Rami tentu diilhami juga oleh Kahlil Gibran tentang harum dan manisnya cinta, betapa hampir memabukkannya perasaan ingin selalu bersama. Yang tak pernah terbayangkan oleh keduanya adalah adanya rasa cinta yang juga menyimpan pedang di balik sayap-sayapnya. Rasa cinta melalui pengertian pribadi tentang agama. Pengertian dogma-dogma pribadi yang dangkal. Bukan hakikat agama itu sendiri. Sehingga pedang dibalik sayap itu pun menjadi nyata untuk menebas musuh. Bukan kiasan seperti yang disyairkan oleh sang pujangga.



Gunawan Wiyogo Siswantoro
18 Mei 2020

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)