Tontowi, si Anak Magang? Nir Nalar

Tak pernah terbayang di benak Tontowi, sebagai atlet bulutangkis internasional, bahwa di ujung karir nasibnya justru distempel sebagai atlet magang oleh PBSI. Setelah karir cemerlang dan dominasinya di beberapa kejuaraan internasional, tentu sulit membayangkannya. Tontowi pun sedikit meradang, namun tetap dengan pembawaan yang kalem. Rasa kecewa yang ditunjukkannya sangat bisa dimaklumi. Bukan semata-mata karena Tontowi arogan, sombong atau ingin mendapat perlakuan istimewa. Namun setidaknya PBSI perlu menalar kembali keputusannya. Pemberian status sebagai atlet magang ini lebih terasa sebagai penghinaan daripada sekedar penetapan di satu surat keputusan organisasi yang menaungi olahraga tepok bulu se-Indonesia tersebut.


Tontowi Ahmad atau akrab dipanggil Owi bersinar sebagai pemain bulutangkis sebagian besar saat dipasangkan dengan pemain putri Liliyana Natsir sekitar 2010 silam. Keduanya kerap menjuarai pertandingan internasional termasuk pada Olimpiade 2016 di Brasil. Salah satu pencapaian terbaik ganda campuran ini. Emas berhasil mereka raih. Lagu Nasional Republik Indonesia berkumandang nyaring di partai final yang dihelat pada event Olimpiade Rio tersebut. Lalu pada 2019, Liliyana memutuskan gantung raket. Tontowi pun tergoda untuk melakukan hal yang sama. Alasan Tontowi, ingin menghabiskan waktu bersama keluarga. Mungkin setelah meraih medali emas di Olimpiade, Tontowi merasa musti perlu menambah waktu bersama keluarga. Mengingat kesibukan berlatih dan mengikuti kejuaraan internasional yang sangat menguras waktunya selama ini. It’s family time.

Setelah Liliyana memutuskan pensiun, Tontowi memang sempat dipasangkan dengan pebulu tangkis yang lain. Namun memang performanya belum menghasilkan hasil se-kinclong bersama kompatriot sebelumnya. Jauh dari ekspektasi. Belum seumur jagung juga duet keduanya. Wajar. Butuh waktu untuk membangun chemistry di lapangan.

Tontowi tentu tidak mengharapkan pasca pensiun, dirinya tetap mendapat perlakuan istimewa dari PBSI. Harapan Tontowi, setidaknya ada penghargaan yang lebih manusia ketimbang dianggap sebagai atlet magang. Njomplang. Terasa dibuang. Setidaknya itu yang dirasakan olehnya.

Kekecewaan Tontowi ternyata mengundang respon dari kompatritnya yang merasakan hal yang sama. Sony Dwi Kuncoro yang pernah melejit di peringkat tiga dunia tunggal putra, mengamini hal tersebut. Sony merasa dibuang setelah memutuskan gantung raket. Bahkan Sony terang-terangan mengkritik PBSI musti membuang kebiasaan buruk yang kurang menghargai pemain profesional bulutangkis nasional.

Taufik Hidayat pun tidak ketinggalan menanggapi keadaan yang dialami rekannya. Dalam twit-nya, Taufik dengan satir menanyakan bagaimana nasib pemain bulutangkis lain yang tidak mempunyai ada gelar juara, jika yang bergelar juara dunia saja dianggap atlet magang. Taufik Hidayat memang belakangan ini sering kali mengkritik dan membeberkan kebobrokan kepengurusan dunia olahraga khususnya bulutangkis. Mulai dari yang di level Kemenpora maupun di PBSI. Taufik memang sebelumnya ikut serta dalam kepengurusan di bidang tersebut. Di Kemenpora. Hanya bertahan beberapa saat. Kemudian dirinya menjadi saksi dalam kasus korupsi yang menyeret Menpora Imam Nahrowi.

Kekecewaan Tontowi tersebut ternyata direspon oleh PBSI. Dinyatakan bahwa keputusan menetapkan Tontowi Ahmad sebagai atlet magang tersebut tak lain karena sampai saat ini Tontowi belum mempunyai pasangan tetap di lapangan pasca pensiunnya Liliyana. Sungguh out of topic. Apa korelasi tidak mempunyai pasangan tetap dalam olahraga profesional dengan status magang? Tidak perlu kita kuliti pengertian magang dan sebagainya. Tidak perlu terjebak dalam perdebatan receh seperti perbedaan arti mudik dan pulang kampung. Muak rasanya melihat dimana-mana nalar dan logika nggak sampai atau pura-pura nggak sampai. Gagal nalar memang sudah seperti Covid19. Transmission human to human. Dalam istilah kesehatan disebut goblok’e nular.

Gunawan Wiyogo Siswantoro
24 Mei 2020

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)