Ramadhan dan Lebaran yang Plain Vanilla, Nikmat

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah
Taqaballahu Minna Wa Minkum Shiyamana Wa Shiyamakum

Mercon bumbung atau mercon bambu. Perang sabetan sarung. Kentongan sahur. Rudal kembang api. Long-march ngabuburit. Semua itu hanya secuil dari keriangan masa kecil berpuasa Ramadhan. Bagi para tukang onar junior kelas 1 SD sekalipun, nuansa Ramadhan menghadirkan kesan mendalam yang tidak terukur indahnya. Kalau dulu tentu saja kesenangan utamanya adalah libur sekolah beberapa hari. Tidak rutin tahun ke tahun, sih memang. Namun kesenangan-kesenangan yang lain tidak kalah menyegarkan.

Bulan puasa Ramadhan selalu ditandai dengan sholat tarawih yang bernyali, berwibawa, dan gegap gempita yang menguar tak karuan. Mushola dan masjid berlomba booking penyewaan tenda dan alas sholat tambahan. Alasannya? Animo peminat sholat tarawih perdana di setiap season Ramadhan ini tinggi. Rebutan shaf. Bahkan tak jarang titel senior, baik dari segi usia maupun keilmuan agama Islam, ikut menjadi faktor pengisian shaf-shaf depan. Makin ke belakang shaf, makin bocah penghuninya. Masuk akal, sih. Penyebab kegaduhan dalam sesi sholat kan memang anak-anak kecil yang sedang berbunga-bunga menyambut Ramadhannya. Ya, Ramadhan mereka. Karena seakan-akan ini adalah momen paling membahagiakan bagi mereka. Saking berbunga-bunganya, balasan kata Aamiin pada setiap selesainya pembacaan Al-Fatihah dalam tiap-tiap raka’at sholat ini sering menjadi incaran mereka. Kencang, bertenaga, panjang. Tak jarang, tepat sebelum beraksi, kumpulan ini ambil napas panjang terlebih dulu. Biar mantap dan tidak kalah saing dengan rekan sejawatnya, ditambahkan sejumput cengkok dan nada-nada improvisasi. Sesama partner in crime.
“AAAAAAAAAMEEEEEEEEEEEEENNNNNNNNNNN!!!!”.
Kocar-kacir sudah konsentrasi Sang Imam sholat. Bahkan beberapa makmum dewasa pasti membatin, “Suara si Topan, Mat, Akbar, dan Guntur. Tunggu saja selesai sholat, kalian ya.

Sahur pertama juga menarik. Menu lengkap. Empat sehat lima sempurna enamnya kolak. Lauknya pun lengkap mulai dari yang nabati dan hewani.  Menu ini terulang kombinasinya saat berbuka pertama. Empat lima enam tadi, tapi variasinya beda. Nikmat. Ciamik pokoknya. Sahur pertama biasanya belum ada norma wajib ikut keliling sahur. Maklum, menu sahur pertama selalu lebih menggoda. Jelang Subuh, anggota kumpulan sudah mulai memanggil dari luar pagar. Tandanya long-march pagi akan dimulai. Berjalan-jalan menyusuri setapak perkampungan. Sambil berharap bertegur sapa lewat lirikan mata dengan gadis-gadis sebaya yang juga jalan bergerombol. Berpapasan.

Jelang siang adalah pertarungan sesungguhnya. Rasa lapar yang melilit dan rasa haus yang membakar menjadi kombinasinya. Rengekan-rengekan kepada emak sudah mulai dimainkan. Meskipun hasilnya selalu sama. Dimarahin lalu disuruh tidur. Biar lapar dan hausnya tidak terasa. Selalu seperti itu penjelasan beliau dari tahun ke tahun. Saat waktu surup, jelang Maghrib, rasa gelisah muncul lagi. Sambil intip-mengintip masakan yang masih rapi tertutup tudung saji. Sambil memantau pergerakan jarum detik dan jarum menit. Radio dinyalakan. Televisi juga. Disimak apakah sudah ada tanda-tanda adzan Maghrib untuk wilayah sekitar. Disimak dengan seksama.

Lalu datanglah waktu yang dinanti. Allahu Akbar, Allaaaaaahu Akbar. Reflek pun beraksi. Allahumma lakasumtu...wabika aaman....bbrbbrbbrrr. Saking cepatnya berdoa buka puasa, sampai tak jelas lafalnya. Maklum, bocah. Es sirop masuk. Kolak masuk. Es teh, gorengan ote-ote, lumpia bergantian masuk. Hingga saat waktunya nasi sayur dan lauk disodorkan emak, nafsu makan pun sudah menguap kemana. Akhirnya makanan berat tetap masuk dan hasilnya perut memberikan warning, “Full capacity, Bos! Jangan ditambah dulu.” Berangkat tarawih pun akhirnya didorong-dorong emak. Berangkat juga karena teman-teman yang lain sudah terlihat berangkat tarawih.

Biasanya, setelah beberapa hari, peminat tarawih berkurang. Namun tidak bagi gerombolan bocah-bocah ini. Tarawih mereka jalan terus meskipun tidak selalu full 23 atau 11 raka’at. Selesai tarawih, beberapa akan bertadarus. Mendaras Al-Qur’an dengan syahdu. Sebagian yang lain, yang lebih banyak, mempunyai agenda lain. Adu pecut sarung. Adu pecut sarung ini yang jadi agenda rutin. Pecutan siapa yang paling menyakitkan. Sarung dipilin hingga ujungnya runcing dan keras. Lalu dilecutkan dengan keras dan cepat. Diadu sarung siapa yang paling yahud sabetannya. Cara menilainya tidak selalu dengan menyabetkannya ke teman. Biasanya cukup dengan dilecutkan ke tempat kosong hingga terdengar bunyinya yang keras. Penilaiannya juga musyawarah aklamasi saja. Sederhana. Selalu ada satu dua yang jahil memang. Pecutnya disabetkan ke teman. Lalu berbalas dan berkejaran.

Hingga Lebaran pun tiba. Kesenangan kami bertambah dengan bayangan menikmati berbagai kudapan dan kue Lebaran. Rumah-rumah tetangga yang rutin menyajikan kue yang nikmat dan aneh-aneh sudah pasti menjadi target operasi. Saku dan kantong yang besar sudah disiapkan. Menampung kue-kue tadi. Termasuk tetangga mana saja yang loman memberi uang saku. Pasti ramai didatangi anak-anak kecil yang berkedok minta maaf, heuheu. Padahal uang saku yang susah payah kita kumpulkan pasti akan bermuara pada satu penadah. Emak. Tidak bisa tidak. Modusnya selalu sama. Kita diarahkan untuk menitipkan uang saku tadi kepada beliau. Agar tidak hilang. Yang justru hilang alias habis dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari kita juga. Kelas wahid memang ibu-ibu kita, ya.

Ramadhan dan Lebaran memang mempunyai spektrum warna yang sangat beragam dan membekas. Terutama bagi anak-anak. Warna-warni. Playful.
Minal aidizin wal faidzin. Maafkan lahir dan batin. Selamat para pemimpin. Rakyatnya makmur terjamin.

Gunawan Wiyogo Siswantoro
23 Mei 2020

Comments

Popular posts from this blog

Labirin 'Loopless' Bernama Dilatasi Waktu (Opini)

Nusantara: Romantisme Masa Lalu

Jaya Jaya Wijayanti! (Resensi Buku Seri Kelima Gajah Mada: Hamukti Moksa)