Pantaskah Kita Dipanggil Inlander? Part #2
Sanderson Beck (2008) dalam bukunya South Asia 1800-1950 menyebutkan
bahwa setidaknya terdapat 113 ribu wanita Eropa dalam 240 ribu warga Eropa pada
koloni Hindia Belanda di tahun 1930 atau sekitar 0,5% dari populasi. Sedangkan
sumber lain, Nico Van Nimwegen (2002:64) dalam tulisannya De
Demografische Geschiedenis vam Indische Nederlanders (The
Demography of the Dutch in the East Indies) juga mencantumkan angka yang
hampir sama yaitu terdapat 240.417 orang Belanda dan Eurasian yang setara
dengan 0,4% dari populasi. Hal ini berarti, pada tahun 1930, setidaknya terdapat
kurang lebih 59-60 juta orang pribumi dan ras lain yang berada di dalam koloni
Hindia Belanda yang dikuasai oleh penjajah. Segelintir tapi mampu mengontrol Nusantara. Padahal, jika pribumi kencing bareng-bareng saja
sudah tenggelam mereka. Guyonannya seperti
itu.
Bangsa Eropa
datang ke Nusantara melalui perdagangan. Jauh sebelum abad ke-15, sudah kondang
tentang kepulauan di Asia yang sangat berlimpah ragam rempah. Nusantara. Eropa
adalah tanah yang dingin karena pengaruh musim dan kondisi geografisnya. Selain
sebagai bumbu masakan, fungsi utama rempah-rempah adalah penghangat tubuh. Sehingga,
bangsa Eropa pada zaman itu sangat tergantung dan gandrung dengan berbagai rempah. Hal ini menjadikan Nusantara
sangat ramai didatangi bangsa-bangsa dari penjuru dunia untuk keperluan
perdagangan. Gujarat, Persia, Tionghoa, Arab, dan banyak lagi bangsa yang lain.
Sangat ramai dan menggairahkan. Rempah-rempah bernilai tinggi sehingga minat
para pedagang itu pun semakin tinggi. Hal tersebut juga yang melatarbelakangi
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit sangat memperkuat armada maritimnya
di masa lampau. Kedaulatan laut. Jalesveva
Jayamahe. Di Lautan Kita Jaya. Semboyan asli Indonesia dari Majapahit.
Rasa gandrung bangsa Eropa ini nyatanya
beralih rupa menjadi keserakahan. Siasat-siasat mulai dimainkan demi memonopoli
perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Tentu, tidak serta merta mereka
menyatakan penjajahan. Perlu diingat, Nusantara sudah mempunyai kebudayaan yang besar bahkan sebelum bangsa Eropa datang berdagang. Konfrontasi secara nyata tidak akan menguntungkan mereka di permulaan. Riset sosial dan riset
antropologi dilakukan untuk menjadi pendahuluan rencana penjajahan mereka. Lalu,
analisa SWOT. Apa kelebihan kelemahan Nusantara saat itu dan lain sebagainya. Strategi
dirumuskan, kemudian eksekusi dilaksanakan. Bagaimana eksekusi dilaksanakan
jika secara kuantitas bangsa Eropa jauh lebih sedikit? Perpanjangan tangan
adalah kuncinya.
Di berbagai referensi disebutkan bahwa bangsa Eropa,
khususnya Belanda, menerapkan strategi politik devide et impera, politik adu domba. Politik adu domba sejatinya
tidak murni diterapkan oleh Belanda. Mereka hanya memantiknya saja. Hasrat
untuk menggenggam kekuasaan sebenarnya sudah cukup kental di dalam ambisi
oknum-oknum bangsa Indonesia pada masa itu. Hasrat berkonflik pun juga terasa. Tengok
saja bagaimana riuhnya perang saudara lokal dalam tahta Kasunanan Surakarta antara
Raden Mas Sorjadi sebagai Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi. Campur tangan
Belanda bermain di situ. Terbelah. Belum lagi soal tahta Amangkurat yang juga
diwarnai intrik Belanda. Bahkan beberapa diantaranya, ditengarai ada beberapa pihak yang memang
sengaja meminta Belanda (dalam hal ini VOC) untuk ikut campur dalam perseteruan
politik internal dalam kerajaan atau kekuasaan lokal. Invited colonialism.
Strategi devide et impera pun gencar dilakukan
di berbagai daerah yang kuat melawan Belanda.
Beberapa tokoh pergerakan akan dicarikan pesaing dengan motif suku,
ras, agama, dan lain sebagainya hingga para pejuang ini sibuk bertarung dengan
saudara sebangsanya. Tentu gampang saja bagi Belanda tho. Comot saja salah satu dari dua pihak yang berpotensi. Tawarkan apa yang dapat
ditawarkan. Ajak perang. Janjikan lebih. Selalu seperti itu. Hingga seluruh
Nusantara menjadi koloni Hindia Belanda yang dijalankan dengan sistem piramida
kepemimpinan. Satu pucuk pimpinan Belanda di posisi paling atas yaitu Gubernur
Hindia Belanda. Selanjutnya beberapa pimpinan yang lebih rendah, yang mengawasi
region-region provinsi. Turun lagi ada level karesidenan. Di berbagai daerah
pun, kepala suku atau raja-raja lokal juga digaet dalam kerjasama politik, yang mana lama kelamaan kerjasama itu mengebiri kekuasaan
otonomi raja-raja itu sendiri. Bahkan pengkhianatan oleh beberapa saudara pribumi juga
ditemukan dalam wujud unit militer bentukan Belanda. Korps
Marechaussee te Voet. Marsose.
Korps Marechaussee te Voet atau lebih dikenal lewat nama singkatnya, Marsose, adalah kesatuan militer bentukan
KNIL Belanda yang keanggotaannya diisi oleh bangsa Indonesia sendiri. Marsose
sangat terkenal dalam Perang Aceh karena tercetus dan dibentuk dengan latar
belakang kekalahan Belanda dalam beberapa seri perang tersebut. Luar biasa
bukan. Pengkhianat bangsa sudah ada sejak dulu bahkan sebagian sukarela
terorganisir. Sampai-sampai, dulu, kalau melihat tetangga atau kerabat yang jahatnya nggak ketulungan, kakek-nenek memberinya
julukan londo ireng. Belanda hitam.
Bicara soal
Perang Aceh, banyak hal yang dapat dipelajari dari Perang Aceh termasuk peran
seorang pemalsu identitas bernama Snuck
Horgronje. Mungkin nanti ada tulisan tersendiri mengenai Snuck Horgronje dan tokoh sejenisnya.
Sebagian fakta
sejarah tersebut memang jarang terekspos.
Beberapa kenyataan bahwa sedikit banyak bangsa Indonesia terjajah oleh sebagian
saudaranya sendiri juga jarang disajikan gamblang
dalam buku-buku paket sejarah yang dipelajari di level sekolah dasar dan
menengah. Maka, masih relevankah “history is always written by the winners”? Jangan-jangan kita sebenarnya tidak pantas disebut inlander karena (sebagian dari) kita adalah penjajah bagi kaum kita sendiri? Bukan karena kualitas bangsa kita sejajar? Saya berharap tidak. Gothak-gathuk opini bisa saja saya
lakukan dengan menarik perbandingan dengan keadaan saat ini. Untuk sekedar menarik kesimpulan gothak-gathuk juga. Tapi menilik kondisi
kebatinan saat ini (halah), lebih
baik diurungkan saja. Yang jelas jangan dipelihara ya combo sakti
KNIL/Belanda/VOC di masa penjajahan dulu. Devide
et Impera dan Invited Colonialism.
Sakitnya tuh di sini, di rantai
genetik DNA.
Gunawan Wiyogo Siswantoro
13 Mei 2020
Comments
Post a Comment